Sejumlah perusahaan milik negara menghadapi konsekuensi dari kebijakan efisiensi anggaran yang diberlakukan pemerintah, termasuk penghentian kontrak tenaga honorer. Meskipun pemerintah menegaskan bahwa tenaga honorer di lingkungan kementerian dan lembaga tidak akan mengalami pemutusan hubungan kerja, realitas di berbagai daerah menunjukkan bahwa pemangkasan anggaran telah berimbas pada keberlangsungan kontrak kerja mereka. Instruksi Presiden terkait efisiensi keuangan negara yang mencapai ratusan triliun rupiah memaksa kementerian dan pemerintah daerah untuk memangkas pengeluaran yang dianggap tidak krusial, yang pada akhirnya turut berdampak pada keberadaan tenaga honorer di sektor publik.
Dampak kebijakan ini sudah terasa di beberapa daerah, seperti di Jember, Jawa Timur, di mana tenaga honorer yang bertugas sebagai penjaga palang pintu perlintasan kereta api diberhentikan akibat keterbatasan anggaran. Tidak adanya payung hukum yang mendukung perpanjangan kontrak tenaga honorer semakin memperburuk situasi, menyebabkan sektor pelayanan publik mengalami gangguan. Lebih luas, kebijakan efisiensi ini juga berpotensi mengurangi daya beli masyarakat karena banyak pekerja kehilangan sumber penghasilan, terutama di sektor jasa yang bergantung pada aktivitas pemerintah, seperti perhotelan dan sektor pariwisata.
Dalam upaya mengantisipasi dampak sosial dan ekonomi dari kebijakan pemangkasan anggaran, pemerintah diharapkan dapat menyiapkan langkah mitigasi yang lebih konkret. Salah satu rekomendasi yang diajukan adalah optimalisasi Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) melalui BPJS Ketenagakerjaan sebagai solusi sementara bagi tenaga honorer yang terdampak. Selain itu, pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan efisiensi tetap berjalan tanpa mengganggu stabilitas sosial ekonomi, terutama dalam menjaga kesejahteraan tenaga honorer serta keberlanjutan program yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat luas.