Angka masyarakat kelas menengah mengalami penurunan drastis hingga 12 juta orang dalam lima tahun terakhir, padahal kontribusinya terhadap konsumsi rumah tangga relatif tinggi. Pengamat menilai pemerintah gagal dalam mengendalikan atau menjaga daya beli masyarakat. Pengamat Trubus Radardiansyah mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan jumlah kelas menengah. Terutama karena tertekannya pendapatan yang tidak sejalan dengan peningkatan inflasi sehingga menyebabkan daya beli rendah.
Menurut hematnya, memang seharusnya ada penentuan pendapatan yang lebih realistis dengan merujuk pada kondisi inflasi, bukan semata-mata pada besaran upah minimum provinsi (UMP) atau upah minimum regional (UMR) yang ditetapkan pemerintah. Trubus lantas menyebutkan soal banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi belakangan ini juga menjadi salah satu faktor yang membuat angka kalangan kelas menengah terus mengalami penurunan.
Trubus menekankan perlunya pemerintah memberikan insentif pajak pada kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan. “Kaitannya dengan pangan, itu jangan (dibebankan pajak). Misalnya orang makan di restoran kan dipajakin banyak sekali, mulai dari raw material sudah dipajakin, Ketika sampai restoran, makan, ada pajak pelayanan, PB1, macam-macam,” tuturnya. Trubus dengan gamblang mengklaim bahwa pemerintah rakus untuk mendapatkan pajak dari berbagai arah, termasuk kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat. Dia menilai hal itu seharusnya menjadi PR pemerintah, jika memang serius untuk bisa mendongkrak kembali masyarakat kelas menengah dengan daya beli yang tinggi.