Beberapa waktu lalu, Densus 88 Antiteror Polri mengatakan 16 tersangka kasus dugaan teroris jaringan Negara Islam Indonesia (NII) yang ditangkap di wilayah Sumatera Barat (Sumbar) aktif merekrut anggota baru. Mereka diduga melibatkan anak-anak dalam proses perekrutan.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sekaligus dan Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti mengatakan, rekruitmen dengan melibatkan anak-anak adalah modus yang sudah lama digunakan, biasanya masuk ke sekolah-sekolah umum seperti SMA dan SMK. Retno berpendapat bahwa pendidikan memegang peran penting dalam menanamkan karakter demokrasi, toleran dan anti kekerasan, baik itu pendidikan di lingkungan keluarga maupun di lingkungan satuan pendidikan atau sekolah.
Retno menyebut sejumlah faktor yang menyebabkan anak-anak mudah dipengaruhi oleh jaringan teroris, termasuk NII. Pertama, pembelajaran di kelas yang tidak terbuka terhadap pergulatan pendapat dan cara pandang yang beragam, sehingga ada kecenderungan mengarah pada penyeragaman, pembelajarannya tidak didisain menghargai perbedaan. Kedua, ada kecenderungan para peserta didik dan pendidik terjebak pada “intoleransi pasif”, yaitu perasaan dan sikap tidak menghargai akan perbedaan (suku, agama, ras, kelas sosial, pandangan keagamaan dan pandangan politik). Ketiga, pendidik yang membawa ideologi dan pandangan politik pribadinya ke dalam kelas. Keempat, pengawasan yang kurang ketat perihal kegiatan kesiswaan, khususnya terkait keagamaan.