Rencana pemerintah mengutip sekian persen gaji pegawai swasta dan pegawai negeri melalui Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) memunculkan polemik di masyarakat. Kebijakan ini sedianya sempat dijalankan juga oleh rezim Orde Baru. Sejumlah persoalan sempat juga mewarnai kebijakan tersebut.Dulu, Presiden Soeharto menitahkan kebijakan dengan nama Tabungan Perumahan (Taperum) hanya untuk pegawai negeri sipil saja. Kebijakan itu dituangkan dalam Keputusan Presiden RI Nomor 14 Tahun 1993 tentang Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil.
Kala itu, iuran yang dibayarkan PNS bersifat tetap. Yakni Rp 3.000 untuk Golongan I, Rp 5.000 untuk Golongan II, Rp 7.000 untuk Golongan III, dan Rp 10.000 bagi Golongan IV. Dengan iuran itu, PNS mendapat Bantuan Uang Muka (BUM) Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan besaran merentang dari Rp 1,2 juta hingga Rp 1,8 juta tergantung golongan. Selain itu, PNS juga dapat memanfaatkan tambahan bantuan dana uang muka sebesar Rp 13,2 juta hingga Rp 13,8 juta tergantung golongan dengan bunga 6 persen annuitas. Bantuan Uang Muka dan Tambahan Bantuan dana uang muka itu harus diambil secara bersamaan dalam satu paket yang tidak terpisahkan pada saat pengajuan KPR. Sejak awal, skema itu sudah memunculkan persoalan. Pada 1994, merujuk catatan Republika, peliknya masalah penyediaan lahan membuat realisasi program Taperum tersendat-sendat. Hal ini tercermin dari masih kecilnya penyaluran uang muka Taperum bagi pegawai negeri sipil (PNS). Dari Rp 200 miliar yang terkumpul, baru Rp 700 juta atau sekitar 0,45 persen yang bisa direalisasikan untuk bantuan uang muka rumah PNS.
Ini terjadi karena para developer baik yang beroperasi di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, maupun di daerah lainnya tidak sanggup menyediakan perumahan karena sulit memperoleh lahan. Tingginya permintaan terhadap rumah sangat sederhana (RSS) tidak sesuai dengan tingkat penyediaan oleh developer. Kala itu, tak semua dana Taperum yang berhasil terkumpul tidak semua dikelola kantor Menteri Perumahan Rakyat (Menpera). Dari jumlah Rp 200 miliar yang terkumpul, hanya 60 persen atau sekitar Rp 120 miliar dikelola Menpera yang akan disalurkan untuk uang muka perumahan PNS. Sedangkan sisanya, 40 persen (Rp 80 miliar) dikelola Departemen Keuangan yang disimpan dalam bentuk deposito atau jenis investasi lain guna pemupukan dana jangka panjang perumahan. Selain karena sulitnya mendapatkan lahan perumahan, para developer saat itu juga enggan menyediakan rumah bertipe kecil. Hal ini karena margin keuntungan yang diperoleh relatif rendah.