Gelombang banjir dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra mengakibatkan empat bupati di Aceh hingga Nagan Raya menyatakan tidak sanggup menangani bencana di daerahnya. Pengakuan itu bukan hanya menandai skala bencana yang luar biasa, tetapi juga membuka persoalan lebih dalam mengenai rapuhnya tata kelola kebencanaan Indonesia.
Ketika daerah tidak mampu secara anggaran, peralatan, maupun cakupan wilayah terdampak, bupati dapat menyerahkan tanggung jawab tersebut kepada tingkat di atasnya. “Surat itu harus lengkap, didukung data akurat, lalu diajukan kepada gubernur,” ujarnya dikutip pada Rabu (3/12). Jika provinsi juga tidak cukup kuat, barulah pusat mengambil alih dan menetapkan status bencana nasional. Namun proses ini tidak selalu mampu mengikuti kecepatan eskalasi bencana di lapangan. Dalam konteks itu, muncul hipotesa mengenai empat bupati di Aceh yang sudah menyerah, maka itu seyogyanya menjadi bencana nasional. Namun keputusan pusat belum keluar. Selain kendala prosedural, ia menyinggung faktor gengsi politik yang kadang membuat kepala daerah enggan menyatakan tidak sanggup, meski situasinya sudah melewati batas normal.
Djohermansyah juga menyoroti kekosongan regulasi nasional. UU No. 24/2007 hanya mengenal tiga kategori bencana, yakni kabupaten/kota, provinsi, dan nasional tanpa mengakomodasi bencana lintasprovinsi seperti yang terjadi di Sumatera. Kepala daerah yang menyatakan tidak mampu juga mencerminkan program pra-bencana yang kurang berjalan, itigasi risiko, tata ruang, sistem peringatan dini, edukasi publik, hingga simulasi bencana. Situasi ini perlu menjadi evaluasi serius bagi provinsi lain yang belum terdampak, terlebih pada era krisis iklim yang membuat bencana hidrometeorologi semakin tidak bisa diprediksi.
