Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Edmon Makarim menolak pendapat yang menyerukan negara-negara tak lagi perlu memiliki ideologi. Apalagi, untuk Indonesia yang memiliki Pancasila sebagai ideologi negaranya. Pancasila justru harus menjadi landasan konkret Indonesia dalam mengejawantahkan jati diri bangsa sekaligus bekal membangun negara. Pancasila, sambung Edmon, tak hanya menginternalisasi nilai-nilai kebangsaan dan kenegaraan Indonesia saja, melainkan juga memiliki prinsip universalitas. Menjunjung tinggi kemanusiaan, menghargai keberagaman, serta bersifat demokratis, mengingat Pancasila juga disusun oleh seluruh perwakilan elemen-elemen masyarakat di Indonesia.
Ketua Pusat Kajian Hukum dan Pancasila FHUI Suparjo menekankan pentingnya Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. “Pancasila sebagai platform untuk memperbaiki carut-marut peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya alam maupun di bidang-bidang yang lain karena hukum kita otomatis sumbernya adalah Pancasila,” katanya. Guru Besar FHUI Satya Arinanto menjabarkan secara historis, Pancasila juga merupakan representasi kebangsaan Indonesia, bahkan dalam taraf penyusunannya. Dia mengatakan, Pancasila disusun dengan proses yang sangat panjang. Satya sendiri telah melakukan penelitian terkait Pancasila bahkan sebelum ada penelitian resmi dari pemerintah pada 1997. Senada, Peneliti Pusat Kajian Hukum dan Pancasila FHUI Kris Wijoyo Soepandji menilai, dalam perspektif kebijakan hukum, Pancasila merupakan landasan, dengan demikian kepentingan nasional merupakan prioritas sehingga negara dapat melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, guna memajukan kesejahteraan umum serta mencerdaskan kehidupan bangsa.
Apalagi dalam konteks persaingan geopolitik, negara harus memiliki kemampuan untuk melihat secara jernih peran sektor strategis, contohnya adalah komoditas penting seperti gula, kelapa sawit, tembakau, cengkeh dan lain sebagainya terutama dalam menyediakan lapangan kerja dan kesejahteraan bagi masyarakat luas, dengan demikian proses penyusunan kebijakan hukum negara tidak terjebak berbagai kemasan positif narasi sepihak.