Akademisi dari IKOPIN University, Heira Hardiyanti, mengkritisi rencana pembentukan Koperasi Desa Merah Putih karena tidak berasal dari kebutuhan riil masyarakat. Ia menilai pendekatan top-down yang diambil pemerintah tidak sejalan dengan jati diri koperasi yang semestinya tumbuh dari inisiatif warga. Program tersebut, meskipun bertujuan mengatasi kemiskinan, dianggap belum matang karena tidak memperhatikan proses partisipatif. Heira menegaskan bahwa inovasi koperasi seharusnya muncul dari kebutuhan nyata anggota, bukan dari kewajiban struktural yang ditetapkan dari atas. Tanpa dasar kebutuhan yang jelas, koperasi dikhawatirkan akan kehilangan fungsinya sebagai alat pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Lebih lanjut, Heira menyoroti pentingnya proses pendidikan sebelum koperasi berjalan, terutama dengan rencana alokasi dana Rp3 miliar per desa. Menurutnya, sebagian besar dana itu seharusnya difokuskan untuk membina sumber daya manusia seperti calon anggota dan pengawas koperasi. Ia juga mengusulkan revitalisasi Koperasi Unit Desa (KUD) yang masih potensial, meskipun banyak yang terhambat oleh utang Kredit Usaha Tani (KUT) yang belum tuntas. Dalam perbandingan internasional, ia mengutip contoh Singapura yang sukses mengembangkan koperasi melalui pendidikan dan fasilitasi berkelanjutan, bukan sekadar bantuan dana. Model koperasi seperti FairPrice menjadi bukti bahwa keberhasilan dapat dicapai bila fondasi partisipasi masyarakat dan pendidikan diperkuat terlebih dahulu.