Skenario Indonesia Menghadapi Krisis dan Ketidakpastian

Artikel Bapak Soekarwo, Anggota Wantimpres dengan judul “Skenario Indonesia Menghadapi Krisis dan Ketidakpastian” dimuat pada harian @jawapos edisi Kamis, 25 Agustus 2022.

DUNIA sedang menghadapi ancaman krisis tiga sektor penting kehidupan, yaitu krisis pangan (food), krisis energi (energy), dan krisis keuangan (moneter). Presiden Jokowi, saat meninjau dan menanam kelapa genjah bersama petani di Desa Giriroto, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Kamis (11/8), menyatakan bahwa lebih dari 300 juta penduduk dunia di sejumlah negara menderita krisis pangan akut atau kelaparan. Presiden menegaskan, jika tidak ada solusi, krisis pangan itu akan meluas sampai 800 juta orang di dunia. Indonesia baru saja mendapatkan penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI) karena dinilai mampu mencapai sistem ketahanan pangan dan swasembada beras sejak 2019 yang ditandai dengan tidak adanya impor beras untuk konsumsi dalam tiga tahun terakhir.

Ancaman krisis dan lonjakan harga signifikan tidak hanya terjadi di sektor pangan, tetapi juga di sektor energi. Bank Dunia memprediksi harga minyak mentah naik 350 persen sejak April 2020 hingga April 2022. Pada Juni 2022, hanya dalam rentang dua minggu terjadi kenaikan harga gas alam sebesar 60 persen di Eropa. Indonesia pada 2022 telah melipatgandakan anggaran subsidi energi menjadi Rp 502 triliun (USD 34,06 miliar) untuk menjaga harga BBM pertalite, solar bersubsidi, serta beberapa tarif listrik tidak berubah di tengah kenaikan harga energi global. Saat ini pemerintah juga mengkaji potensi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi karena subsidi energi membengkak. Sektor keuangan atau moneter juga tidak aman dari ancaman krisis sehingga mendorong berbagai pihak mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi. Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2022 dari 3,6 persen menjadi 3,2 persen. Dana Moneter Internasional (IMF) juga merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari 4,1 persen menjadi 2 persen.

Presiden Jokowi, saat menyampaikan pidato kenegaraan dalam sidang tahunan MPR serta sidang bersama DPR dan DPD tahun 2022 Selasa (16/8), menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,3 persen pada 2023. Angka itu sama dengan target pada 2022. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekonomi Indonesia triwulan I 2022 terhadap triwulan I 2021 tumbuh 5,01 persen dan triwulan II 2022 terhadap triwulan II 2021 tumbuh 5,44 persen secara tahunan atau year-on-year. BPS juga mencatat bahwa inflasi tahunan pada Juli 2022 jika dihitung secara year-on-year di angka 4,94 persen. Jika dihitung secara bulanan atau dibandingkan dengan Juni 2022, angka inflasi Juli 2022 mencapai 0,64 persen.

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, kondisi tahun ini relatif bisa diprediksi. Namun, tahap selanjutnya setelah tahun ini belum tentu bisa diprediksi. Kondisi ini mendorong sebuah konsensus global bahwa 2023 diprediksi menjadi tahun stagflasi. Kita ketahui bersama bahwa stagflasi merupakan kondisi perekonomian yang secara bersama-sama di dalamnya terjadi inflasi tinggi. Hal itu ditandai dengan kenaikan harga-harga dengan pertumbuhan ekonomi rendah atau stagnan serta diikuti jumlah penganggur yang tinggi. Kondisi stagflasi ini menjadi perhatian serius berbagai kalangan di dunia karena tidak hanya akan memberikan pengaruh pada kondisi perekonomian. Tetapi juga memengaruhi kualitas hidup rakyat di sebuah negara dan keutuhan negara yang bersangkutan. Karena itu, kondisi stagflasi ini menjadi baseline atau indikator mendasar terhadap berbagai program perencanaan pembangunan saat krisis.

Skenario Menghadapi Ketidakpastian

Di dalam krisis senantiasa melekat situasi dan kondisi yang tidak pasti. Pendeknya, krisis adalah kondisi ketidakpastian. Di sisi lain, ketidakpastian merupakan hambatan terbesar dalam perencanaan perekonomian. Sebab, proyeksi dan kalkulasi dalam rangka strategi yang harus diimplementasikan mensyaratkan adanya kepastian dalam anggaran. Untuk menghadapi krisis, baik di bidang pangan, energi, maupun keuangan yang menimbulkan ketidakpastian, diperlukan imajinasi berdasar data yang ada.

Dalam krisis perekonomian yang menjadi dialektika antara cita-cita/ harapan melalui perencanaan dan realitas atau ketidakpastian, diperlukan perencanaan berganti-ganti menyesuaikan kondisi empiris atau realitas yang ada. Keadaan ini secara teoretis disebut scenario planning. Karena itu, saat proses berjalan, bukan tidak mungkin perencanaan berkali-kali berubah. Perekonomian Indonesia dan global bisa menghindari stagflasi dan dampak-dampaknya kalau mampu melakukan transformasi. Ada dua hal mendasar yang harus dipenuhi agar transformasi ekonomi berjalan dengan baik, yakni efisiensi dalam produksi dan perbaikan sistem logistik (supply chain). Banyak ahli yang menyebut memburuknya perekonomian global dalam dua tahun belakangan disebabkan tiga hal. Yaitu, perang dagang Amerika Serikat melawan Tiongkok, pandemi Covid-19 yang belum juga usai, dan perang Ukraina melawan Rusia.

Dalam menghadapi kondisi ini, kita perlu membuat langkah-langkah mendasar dan berdaya guna untuk menyelamatkan ekonomi nasional. Upaya dan langkah tersebut saya namakan sebagai Skenario Indonesia menghadapi krisis. Skenario Indonesia itu merupakan disiplin perencanaan pembangunan untuk tahun-tahun mendatang. Upaya dan langkahnya antara lain: pertama, disiplin dalam menjalankan kebijakan moneter. Bank Indonesia harus mampu menjaga suku bunga acuannya (BI rate) di bawah 4,5 persen. Suku bunga untuk sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) harus lebih rendah daripada suku bunga kredit usaha rakyat (KUR) atau lebih kecil dari 6 persen.

Kedua, sektor perpajakan. Untuk industri padat karya, lakukan penurunan pajak secara signifikan atau kalau memungkinkan lakukan zero tax. Upaya ini diperlukan untuk mendorong permintaan barang atau menaikkan penawaran.

Skenario untuk menghadapi potensi dan ancaman krisis tersebut selanjutnya perlu diperkuat dengan konsisten menjalankan instruksi presiden terkait reformasi struktural untuk memperbaiki fundamental perekonomian nasional. Reformasi struktural ini menyangkut tiga hal besar. Pertama, pembangunan sumber daya manusia yang menyangkut pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.

Kedua, penyediaan infrastruktur yang terdiri atas infrastruktur dasar (jalan, jembatan), infrastruktur konektivitas, infrastruktur digital, infrastruktur energi, infrastruktur pangan, dan infrastruktur industrialisasi. Ketiga, perbaikan instansi yang meliputi reformasi birokrasi, kemudahan investasi, dan perbaikan institusi dalam rangka membuka usaha. Upaya menjalankan instruksi presiden ini dengan konsisten dilakukan secara integratif antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kota/kabupaten. (*)

*) Anggota Dewan Pertimbangan Presiden

Search