Artikel Bapak Soekarwo, Anggota Wantimpres, yang dimuat pada harian Jawa Pos tanggal 2 Maret 2021.
Pandemi Covid-19 yang telah melanda Indonesia dalam setahun ini turut mengubah tata kelola dan mekanisme kerja di pemerintahan baik pusat maupun daerah. Kerja birokrasi disesuaikan dengan kondisi pandemi agar pelayanan publik tetap dilakukan dengan optimal dan berintegritas. Pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan dan regulasi agar tata kelola pemerintahan tetap berjalan efektif melayani publik di tengah upaya menanggulangi dampak kesehatan masyarakat karena pandemi dan upaya pemulihan ekonomi nasional.
Beberapa peraturan tersebut diantaranya UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, Keputusan Kementerian Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi Covid-19, Surat Edaran Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Nomor 58 Tahun 2020 tentang Sistem Kerja Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Tatanan Normal Baru, serta Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Berbasis Mikro.
Ada dua dimensi tata kelola birokrasi yang berubah sebagai dampak Pandemi Covid-19. Yakni, dimensi organisasi dan sistem kerja. Dari sisi organisasi, telah terjadi perubahan dari semula dilakukan dengan cara normal menuju adaptasi kebiasaan baru di masa pandemi atau dikenal juga dikenal dengan istilah new normal. Dari sisi sistem kerja, terdapat dua pilihan yaitu bekerja dari rumah atau work form home (WFH) dan tetap bekerja di kantor atau work from office (WFO) dengan menjalankan ketentuan protokol kesehatan.
Kondisi pandemi juga mendorong percepatan pengarusutamaan flexible working arrangement (FWA) atau pengaturan kerja secara fleksibel. Kementerian, lembaga negara, dan pemerintah daerah sudah jamak melakukan telemeeting atau teleconference, pengadaan rapat-rapat koordinasi yang menggunakan teknologi digital tanpa dibatasi ruang dan waktu sehingga lebih efektif efisien dari sisi waktu maupun biaya. Perubahan dimensi organisasi dan sistem kerja birokrasi ini didukung sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE).
Berbagai aplikasi teknologi digital digunakan dan diterapkan sebagai bagian budaya kerja baru pelayanan publik. Layanan administrasi pemerintah berbasis elektronik seperti sistem aplikasi e-office, sistem aplikasi perencanaan, sistem aplikasi penganggaran, sistem aplikasi monitoring dan evaluasi, serta sistem aplikasi informasi kepegawaian menjadi diterapkan. Kondisi pandemi juga mendorong birokrasi bekerja dengan aplikasi komunikasi dan kolaborasi berbasis digital. Seperti video dan web conference: Zoom, Google Meet, media sosial, penyimpan awan (cloud storage), virtual private network dan aplikasi digital lainnya.
Tantangan dan Upaya
Tata kelola pemerintahan Indonesia selama ini menghadapi beberapa masalah klasik. Diantaranya, tidak sinkronnya tuntutan kebutuhan masyarakat dengan reformasi birokrasi, tingginya kompleksitas masalah publik, tuntutan partisipasi masyarakat yang semakin tinggi, lemahnya kontrol kinerja birokrasi, tren korupsi dan kolusi serta penyalahgunaan wewenang yang masih tinggi, kinerja dan kualitas sumber daya aparatur pemerintahan yang masih rendah dan era desentralisasi yang menyebabkan tingginya tuntutan dalam pelimpahan kewenangan. Di sisi lain, perkembangan tata kelola pemerintahan juga dipengaruhi berbagai krisis yang terjadi, baik krisis moneter, krisis politik, kondisi sejarah negara maupun kondisi pandemi seperti saat ini.
Tahun 2020 yang sudah kita lalui bersama dengan masa pandemi ditandai dengan tantangan serius menyusul anjloknya dua indeks tata kelola pemerintahan, yaitu indeks demokrasi dan indeks persepsi korupsi.
Dalam Laporan Indeks Demokrasi 2020 yang baru saja dirilis The Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia meraih skor 6,3 yang menempatkan kita pada ranking ke-64 dari 167 negara. Ini merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir dan memasukkkan Indonesia dalam kategori negara dengan demokrasi cacat (flawed democracy). Ada lima indikator yang digunakan EIU dalam menentukan indeks demokrasi suatu negara, yaitu proses pemilu dan pluralisme, fungsi dan kinerja pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, serta kebebasan sipil.
Dalam rilis terbarunya Transparency International Indonesia (TII) mengungkapkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2020 berada di skor 37 (0 sebagai indikator sangat korup, 100 berarti sangat bersih), turun tiga poin dari tahun 2019. Laporan ini menyebutkan Indonesia berada di peringkat 102 dari 180 negara. Untuk Indonesia, beberapa indikator penyusunan IPK yang berhubungan dengan sektor ekonomi, investasi, dan kemudahan berusaha mengalami stagnasi, bahkan mayoritas turun.
Karena itu, kondisi pandemi dan masa-masa work from home bisa dijadikan laboratorium dan praktik bagi birokrasi untuk terus mengembangkan ide-ide dan kreativitas untuk menghasilkan karya terbaik memberikan pelayanan publik. Implementasi e-governance harus diperluas dan ditingkatkan pemanfaatannya dalam upaya mewujudkan paradigma new public governance yang juga hendak kita capai sebagai hasil reformasi birokrasi tahap akhir saat ini. Penerapan digitalisasi data dan informasi seperti e-budgeting, e-project planning, system delivery, penatausahaan, e-controlling, e-reporting hingga e-monev serta aplikasi custom lainnya harus semakin ditingkatkan.
Kami mengusulkan lima upaya untuk menghadirkan tata kelola pemerintahan yang baik pasca pandemi. Pertama, penguatan kapasitas birokrasi dalam penguasaan aplikasi berbasis digital. Kedua, meningkatkan edukasi publik khususnya terkait transformasi pelayanan manual menuju daring (online). Ketiga, pemerataan pembangunan infrastruktur berbasis digital, terutama di luar Jawa dan wilayah terluar Indonesia.
Keempat, menghadirkan kepemimpinan visioner dan transformatif untuk mengawal transformasi menuju digitalisasi pemerintahan di era disrupsi teknologi informasi yang begitu cepat. Kelima, memaksimalkan pendidikan literasi dan budaya politik yang masif lewat platform digital.