Dewan Pertimbangan Presiden telah menyelenggarakan Seminar dan Sarasehan Budaya dengan tema “Pancasila dan Kebhinnekaan” pada tanggal 6 November 2017 di Yogyakarta. Seminar dan sarasehan budaya ini dihadiri oleh ratusan peserta dari berbagai kalangan, baik kepala daerah, tokoh nasional, budayawan, perguruan tinggi, serta perwakilan SMA dan SMK di Jawa Tengah dan DIY. Pancasila dan kebinekaan menjadi tema utama dalam seminar dan sarasehan budaya karena Dewan Pertimbangan Presiden melihat dalam perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara Pancasila terus menghadapi berbagai tantangan dari ideologi lain. Di samping itu, nampak adanya indikasi penurunan toleransi antar suku, ras, agama, dan antargolongan, pergeseran tata nilai, sikap, dan perilaku masyarakat yang semakin lama semakin jauh dari nilai-nilai luhur, dan menurunnya solidaritas dan gotong royong di lingkungan masyarakat yang tidak men-cerminkan nilai-nilai Pancasila, terutama di kota-kota besar. Dengan lebih dari 600 suku bangsa dan kelompok, bahasa, dan berbagai agama dan kepercayaan, Indonesia merupakan satu-satunya bangsa di dunia yang sehari-harinya harus mengakui dan mengelola keragaman yang luar biasa. Untuk itu, Pancasila memerlukan rejuvenasi, revitalisasi, dan reaktualisasi dalam kehidupan negara dan bangsa Indonesia. Pe-nguatan Pancasila dan kebinekaan juga dinilai dapat menjadi solusi dari keterbelahan masyarakat serta kondisi generasi muda Indonesia yang terbawa arus polarisasi dan globalisasi yang terjadi saat ini.
Seminar Pancasila dan Kebhinnekaan diselenggarakan di Balai Senat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan dibuka secara resmi oleh Menteri Dalam Negeri, Bapak Tjahjo Kumolo, dengan didampingi oleh Ketua Dewan Pertimbangan Presiden, Prof. Dr. Sri Adiningsih; Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X; Rektor UGM, Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng., dan Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP), Prof. Dr. H. A Syafi’i Maarif. Dalam pidato kuncinya, Buya Syafi’i menyampaikan bahwa ideologi impor dengan teologi kebenaran tunggal sesungguhnya tidak akan mempan di Indonesia manakala keadilan sosial betul-betul diwujudkan dan bukan retorika.
Sesi pertama seminar dengan topik “Menumbuhkembangkan Nilai-Nilai Luhur Pancasila sebagai Akar dan Jati Diri Bangsa” menghadirkan narasumber Prof. Dr. A. Malik Fadjar, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Drs. H. Sidarto Danusubroto, S.H., Prof. Dr. Mohammad Mahfud M.D., S.H., S.U., Bapak Hajriyanto Y. Thohari, dan Dr. Silverius Y. Soeharso. Sri Sultan Hamengku Buwono X mengharapkan agar pemerintah mempunyai keberanian untuk melahirkan suatu perundangan yang berisi rambu-rambu di dalam berbangsa dan bernegara, dengan ideologi Pancasila dan kebinekaan. Dari aspek hukum Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie dan Prof. Dr. M. Mahfud M.D. menegaskan pentingnya Pancasila tidak hanya sebagai sumber hukum tapi juga sumber norma. Drs. H. Sidarto Danusubroto, S.H., dan Prof. Dr. A. Malik Fadjar selaku Anggota Wantimpres meninjau pentingnya Pancasila agar dapat dipahami oleh generasi muda (generasi now) dan tidak terlepas dari konteks zaman. Sementara itu Bapak Hajriyanto Y. Thohari mengingatkan pentingnya strategi kebudayaan agar Pancasila betul-betul menjadi ideologi yang hidup dan Dr. Silverius Y. Soeharso mewakili UKP PIP menambahkan 5 (lima) isu strategis dalam upaya pengarusutamaan Pancasila, yaitu pemahaman, keteladanan, eksklusivisme/intoleransi, kesenjangan/keadilan sosial, dan pelembagaaan/institusionalisasi. Pada sesi kedua seminar dengan topik “Merawat Kebhinnekaan dan Toleransi dalam Bingkai NKRI”, narasumber yang hadir mewakili berbagai organisasi keagamaan, yaitu Drs. H. Zainut Tauhid Sa’adi, M.Si., Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI); Mayjen TNI (Purn.) Wisnu Bawa Tenaya, Ketua Umum Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI); Pdt. Dr. Hendriette T. Hutabarat Lebang, Ketua Umum Persekutuan Gereja-Geraja di Indonesia (PGI); Drs. Uung Sendana L. Linggaraja, S.H., Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin); Bapak F. Sugiyanto Sulaiman, S.H., Wakil Ketua Umum II Majelis Buddhayana Indonesia (MBI); dan Ir. Engkus Ruswana, M.M., Anggota Presidium Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI). Hal yang perlu digarisbawahi dari para narasumber di sesi kedua adalah bahwa Pancasila merupakan kesepakatan dan upaya final bangsa Indonesia dalam menjaga kebinekaan.
Kegiatan dilanjutkan pada malam harinya dengan acara Sarasehan Budaya di Pendopo Agung Tamansiswa. Acara diawali dengan pentas budaya dan Langen Carito dari Tamansiswa kemudian dilanjutkan dengan diskusi bersama Prof. Dr. Sri Edi Swasono (Ketua Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa), Bapak Suprapto Suryodarmo, dan Bapak Mohammad Sobary mewakili budayawan, dengan moderator Drs. Octo Lampito, M.Pd. dari Kedaulatan Rakyat. Sarasehan ini mengundang berbagai unsur seperti perwakilan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pariwisata, pemerintah daerah di Yogyakarta, perguruan tinggi termasuk institut seni, unsur Tamansiswa, dan perwakilan lintas agama. Acara berlangsung dengan meriah dimana turut hadir para budayawan terkemuka seperti Bapak Didi Hadiprayitno (Didik Nini Thowok), Bapak Djaduk Ferianto, dan Bapak Eko Supriyanto.
Seminar dan Sarasehan Budaya Dewan Pertimbangan Presiden di Yogyakarta menjadi sarana untuk mengidentifikasi berbagai permasalahan struktural, tantangan pengejawantahan nilai-nilai ideologis Pancasila, dan isu-isu strategis penguatan kebinekaan dan kebangsaan, sekaligus menjadi ajang untuk menghimpun berbagai pemikiran serta prakarsa-prakarsa lokal yang memperkuat kebinekaan dan kebangsaan yang pada akhirnya akan diformulasikan sebagai langkah-langkah strategis implementasi ideologi Pancasila. (APR)