Krisis Pangan Global dan Alternatif Solusinya (Bagian I)

[Ambo Ala] DSC01480Foto WW

oleh Prof. Dr. Ambo Ala

Demand pangan dunia menunjukkan tendensi peningkatan yang lebih cepat dari supplay. FAO (2008) memperkirakan kebutuhan pangan untuk  negara-negara berkembang akan meningkat sebesar 60% pada tahun 2030 dan berlipat dua kali pada tahun 2050, atau ekivalen dengan kebutuhan peningkatan produksi dunia sebesar 42% pada tahun 2030 dan 70% pada tahun 2050.

Peningkatan demand pangan sebagai konsekuensi dari peningkatan populasi dunia yang menurut skenario bahwa penduduk dunia akan bertambah sebanyak 73 juta orang setiap tahun antara tahun 1995-2020, ini berarti terjadi peningkatan sebesar 32% dalam kurun waktu tersebut, sehingga diperkirakan penduduk dunia akan mencapai 7,5 milyar orang pada tahun 2020 (Behnassi dan Sanni, 2011). Peningkatan kebutuhan pangan yang cukup tajam akan menyebabkan kenaikan harga semua jenis bahan pangan, sehingga jumlah   penduduk miskin dan kelaparan meningkat.

Saat ini, jumlah penduduk dunia yang miskin dan kelaparan setiap hari  sudah melebihi 1 milyar orang (lebih dari 15% dari populasi), karena tidak dapat akses pangan yang diperlukan untuk hidup sehat dan produktif. Mereka tidak memperoleh haknya akan pangan yang cukup (pangan merupakan hak asasi). Terjadi paradoksal, di mana peningkatan produksi pangan tetap terjadi, sementara jumlah penduduk yang kelaparan terus meningkat.

Krisis pangan juga diperparah oleh kondisi jangka pendek yang terjadi akibat kenaikan harga komoditi pangan yang cukup signifikan. Krisis pangan dunia mulai terjadi pada tahun 2007 yang ditandai dengan melonjaknya angka kelaparan. Kemudian diikuti dengan ‘shock’ harga bahan pangan pada pertengahan tahun 2008 menyebabkan semakin bayaknya penduduk yang tidak mampu menjangkau pangan dengan harga yang tinggi, sehingga pada tahun 2009 terjadi peningkatan angka kelaparan yang sangat signifikan. Kejadian ini dipicu oleh isu terjadinya gangguan iklim di beberapa negara produsen, rendahnya stok pangan nasional berbagai negara, dan terjadinya konversi bahan pangan menjadi energi biofuel.

Kegagalan supplay untuk memenuhi demand yang meningkat tajam menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan dan struktural sistem pertanian dunia, Penyebab dari ketidakseimbangan struktural ini berganda. Di sisi supply faktor utamanya adalah ketidakcukupan aliran sumber daya ke pertanian dari pihak swasta, dan pemerintah, serta negara-negara donor ke negara-negara berkembang, sehingga investasi d ibidang pertanian sangat terbatas. Di sisi demand, daya beli masyarakat rendah akibat tingginya angka kemiskinan.

Krisis keuangan global yang terjadi di Amerika dan Eropa akan berdampak buruk terhadap ketahanan pangan dunia, karena selain negara tersebut adalah pemasok pangan terbesar dunia, juga merupakan negara-negara donor yang dapat membantu pembangunan pertanian di negara-negara berkembang.

Persoalan ketahanan pangan tidak hanya menyangkut bagaimana memproduksi pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan, tetapi juga menyangkut bagaimana memenuhi akses fisik dan ekonomi seluruh penduduk akan pangan. Seluruh penduduk (FAO), atau seluruh rumah tangga (Indonesia) harus dapat akses baik fisik maupun ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman untuk memenuhi kebutuhan gizi dalam beraktivitas dan hidup sehat. Kenyataannya, banyak orang yang kelaparan baik karena tidak dapat memproduksi pangan yang cukup, maupun karena tidak memiliki uang untuk membeli bahan pangan.

Tidak ada satu negara yang dapat menyatakan diri bebas dari krisis pangan. Dapat dilihat kegagalan yang dicapai dalam upaya mengurangi kemiskinan dan kelaparan yang dicanangkan oleh Millennium Development Goals (MGDs). Demikian pula dengan kesepakatan para Gubernur se-Indonesia selaku ketua Dewan Ketahanan Pangan provinsi di Indonesia yang target-target pengurangan kemiskinan dan kelaparan yang dicanangkan tidak tercapai. Kerena itu, perlu kebijakan khusus untuk mengatasi semakin meluasnya krisis pangan ini. Pemerintah disemua level mulai dari pemerintah lokal, nasional dan regional perlu bekerja maksimal dan menyeluruh.

KRISIS PANGAN GLOBAL

Peningkatan populasi dan peningkatan pendapatan serta gaya hidup masyarakat dunia mendorong kenaikan demand pangan yang cukup signifikan. Sementara di sisi lain kenaikan supply pangan tidak mampu memenuhi kebutuhan, karena itu, isu ketahanan pangan semakin penting. Pada tahun 1970-an ada suatu tendensi memahami isu ketahanan pangan hanya dari perspektif ekonomi, umumnya dari aspek supplay. Sekarang ini, dengan meningkatnya penduduk dunia yang me-ngalami kekurangan pangan menjadi lebih dari 1 milyar orang (Gambar 1 dan 2), dan cakupan krisis pangan semakin meluas, berbagai negara mengalami kelaparan kronis yang kemudian menimbulkan bencana baik dari aspek politik, ekonomi dan kesehatan.

Gambar 1 (tulisan Pak Ambo)

Dari Gambar 1 di atas menunjukkan bahwa penduduk dunia yang kekurangan makanan telah melebuhi 1 miliar orang, dan yang salah makan lebih banyak lagi, yaitu sekitar 2 miliar orang. Sedangkan makan berlebihan (Overweight) melebihi 1,5 miliar, dan yang sangat berlebihan  (obese) sekitar 700 juta orang.

Tantangan yang dihadapi semakin kompleks untuk memenuhi kebutuhan pangan, dan konsumsi pangan yang berimbang. Kebijakan konvensional dari pemerintah tidak cukup untuk merespons tantangan yang dihadapi berkaitan dengan ketahanan pangan. Di antara tantangan tersebut adalah masalah ekonomi, kekurangan air dan energi, degradasi lahan, resiko iklim, serta berbagai permasalahan sosial politik.

Krisis pangan dunia mulai terjadi pada tahun 2007 yang tercermin dari ter-jadinya peningkatan jumlah penduduk yang kekurangan pangan (undernourished), seperti terlihat pada Gambar 2 berikut ini:

Gambar 2 (Tulisan Pak Ambo)

Gambar 2 menunjukkan bahwa pertambahan jumlah penduduk yang kekurangan pangan mulai meningkat tajam pada tahun 2007 (bertambah 75 juta orang), sebagai suatu pertanda terjadinya krisis pangan dunia. Keadaan tersebut diikuti dengan terjadinya lonjakan harga pangan pada pertengahan tahun 2008. Harga bahan pangan yang tinggi menyebabkan semakin banyaknya penduduk yang tidak akses pangan, sehingga pada tahun 2009 peningkatan jumlah penduduk yang kekurangan pangan lebih tinggi lagi, meningkat sebanyak 104 juta orang. Tidak ada satu negarapun yang betul-betul tahan terhadap dampak kekurangan pangan.

Mengatasi persoalan krisis pangan diperlukan pemerintahan yang ‘kuat’ dan peduli untuk mendorong sistem kebijakan dan produksi pangan yang terkait dengan: ekonomi, pertanian, ilmu dan teknologi. Karena itu, masalah ketahanan pangan tidak bisa diselesaikan hanya dari perspektif lokal dan nasional, tetapi harus dalam perspektif global. Dengan kata lain, pemeintahan yang ‘kuat’ yang dapat diharapkan untuk mengatasi permasalahan ketahanan pangan adalah pemerintahan yang terbaik dalam merespons tantangan untuk mewujudkan ketahanan pangan. Terciptanya pemerintahan yang ‘kuat’ terhadap sistem pertanian dan pangan di tingkat global, negara dan lokal adalah strategi kunci untuk mencapai agenda MGDs untuk mengurangi kelaparan dan kekurangan gizi.

bersambung ke Bagian II 

Search