oleh A. Chasib (*)
Negosiasi adalah sebuah bentuk interaksi sosial dimana pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda atau bertentangan¸ merupakan cara mencapai kesepakatan melalui diskusi formal. Negosiasi sebagai suatu proses mencapai perjanjian yang dapat memenuhi kepuasan semua pihak yang berkepentingan dengan elemen-elemen kerjasama dan kompetitif. Kompetisi merupakan tindakan yang dilakukan ketika berkomunikasi, merancang kerjasama atau mempengaruhi orang lain dengan tujuan tertentu, antara lain menambah keuntungan di akhir proses serta menghasilkan persetujuan. Pada akhir negosiasi diharapkan diperoleh kompromi dan membentuk kerja sama. Permasalahan rumit dalam negosiasi adalah mengatasi tendensi untuk melihat kekuatan dan kelemahan pada suatu situasi yang kemudian menambah posisi kita. Jangan berharap dapat mempengaruhi orang lain apabila tidak bisa mengubah diri sendiri, jadi kunci negosiasi adalah mengubah diri dalam mempengaruhi orang.
Negosiasi terjadi pada kehidupan kita sehari-hari, kalau zaman dahulu keinginan negosiasi datang dari atasan secara hirarchi ke bawah, namun kini berubah menjadi negosiasi secara horizontal, artinya pernyataan keinginan tidak harus dari pihak lain. Kita dapat memposisikan diri pada pihak lain atau juga dapat mengubah posisi serta kekuatan sehingga dapat menggunakan hubungan kekuatan itu. Penerapan taktik secara psikologi, banyak pihak memberdayakan perempuan, karena pendekatan negosiasi yang dilakukan perempuan berbeda dengan lelaki. Perbedaan perspektif dan kekuatan yang dimiliki perempuan biasanya keluar dengan memberi komentar yang berbeda, pandangan kolektif wanita lebih dinamis terkadang tersembunyi seolah terdapat semacam negosiasi yang sejajar dengan pikirannya. Dengan mempertimbangkan penawaran yang menguntungkan dua pihak mengambil sikap bermusuhan atau kerjasama, pendapat siapa yang baik dan pada level keterbukaan atau kejujuran yang bagaimana?. Semua penawaran yang dilakukan harus dapat mengontrol permintaan jika masalahnya ingin didengar dan dimengerti oleh pihak lain untuk dipertimbangkan.
Penawaran jangan terpusat pada permasalahan saja tetapi juga menyangkut dua belah pihak, kesuksesan dapat mempererat hubungan proses negosiasi. Mengoptimalkan hasil kesepakatan hanya bisa dilakukan melalui penggunaan kesempatan pada negosiasi dengan pendekatan yang terukur dan dapat diimplemetasikan serta dievaluasi dengan perhitungan risiko yang matang. Kesepakatan memerlukan kemampuan negosiasi handal apalagi masalah yang dibahas menyangkut kepentingan nasional dan sensitif.
Kemampuan negosiasi dapat diupgrade melalui pelatihan ataupun kesempatan dan pengamatan pada beberapa pembahasan. Berdasarkan pengalaman dan data dokumen dari berbagai perjanjian dengan negara lain yang sifatnya bilateral dan telah disepakati ternyata sebagian besar justru mendatangkan masalah baru didalam implementasinya. Masalah tersebut tidak terlihat dan terpikir pada awalnya dikarenakan tidak dalamnya pembahasan terpadu disamping persoalan internal sehingga memaksa pihak kita kurang jeli saat membahas secara bersama.
Pada pelaksanaan negosiasi tidak dapat mencapai tujuan maksimal karena kurang berhasil mengarahkan sesuai tujuan, disamping penyiapan konsep tujuan kurang matang dan tidak terpadu serta tidak sentral. Timbulnya beberapa persoalan yang merupakan implikasi perjanjian membuat kesepakatan berjalan tidak mulus dan mengurangi Confidence Building Measure yang telah ada, hal tersebut terjadi karena:
- Terlalu cepat memberikan pernyataan kesiapan dan harapan pada pertemuan atau pembahasan awal meskipun belum melakukan konsolidasi dan penataan apa yang harus disiapkan. Baru melakukan penataan materi dan sarana setelah pembicaraan, sehingga penyiapan dan pengadaan dilakukan dengan tergesa-gesa serta terkesan dipaksakan. Hasil-hasil pembicaraan awal tidak didistribusikan kepada staf dan pelaksana lapangan
sesegera mungkin, sehingga penyiapan tim negosiator pada tahap berikutnya juga relatif tidak siap. Selain itu pihak kita tidak mempersiapan diri dengan konsep bahasan membaca peluang, tantangan dan antisipasi dari pembicaraan awal. Maka muncullah persiapan negosiasi yang tidak mendasari konsep dan terfokus pada proses belaka, bukan substansi dan pengelolaan pencapaian kepentingan. Kecenderungan penyampaian masalah didominir oleh keinginan ketua tim pada saat pembicaraan walau materi yang dibicarakan belum dibahas, dengan itu maka pelaksana bawah sangat sulit mendapatkan keinginan ketua guna menyatukan dengan maksud dan kepentingan pihak kita. Kurang perhatian dan tidak merujuk pertemuan sebelumnya serta tidak mengevaluasi kembali hasil pembicaraan awal, maka perjanjian berjalan sesuai waktu, setelah tiba saat negosiasi lanjutan baru segalanya disiapkan sehingga tidak dapat menempatkan fokus bahasan pada skala yang lebih luas dan sulit mengantisipasi implikasi terhadap perkembangan masalah selanjutnya. - Adanya kecenderungan untuk segera mendapatkan kompromi pada saat negosiasi atas suatu masalah dalam mengembangkan kerja sama, meskipun penyelesaian masalah tersebut belum tuntas. Pengembangan kerjasama pindah pada tahap berikutnya sementara kerja sama yang lama belum tuntas hal ini akan meninggalkan bom waktu yang dapat digunakan pihak lain. Budaya buruk yang melihat proses merupakan keberhasilan negosiasi perlu diubah, artinya penyiapan materi negosiasi harusnya menjadi utama dibanding proses atau protokoleran kegiatan. Sangat nyata ketidaksiapan materi dalam negosiasi dimana umumnya pihak kita tidak mengerti atau mengetahui apa yang harus diminta dari pihak lawan, sementara pihak lawan dengan konsep jelas meminta informasi isu terkait kepentingan negaranya. Tidak seimbangnya pertukaran kepentingan dalam negosiasi akibat tampil dengan tidak menyiapkan konsep matang terpadu, kalaupun ada hanya merupakan kepentingan parsial yang sifatnya taktis dan jangka pendek yang juga mudah diakomodasi oleh pihal lain. Selain kuantitas permintaan informasi juga kualitas yang diajukan pihak lawan lebih bersifat strategis, dan dengan berjalannya waktu baru dirasakan bahwa keuntungan jauh diperoleh oleh pihak lain.
- Tim negosiator tidak menyatukan visi dan misi masing-masing bidang pada kepentingan nasional atau institusi serta tidak mengintegrasikan kepen-tingan bidang lain pada bidangnya, maka bahan negosiasi yang diperoleh sifatnya sektoral. Tidak dapatnya menyatukan visi dan misi tim negosiator umumnya karena terdesak waktu dan tidak ada koordinator kuat yang ingin menyatukan kepentingan bidang dan mengintegrasikannya dalam konsep negosiasi. Merasa bahwa sektornya sudah dikuasai dan tidak perlu dikombinasikan sehingga melakukan negosiasi dengan materi terpencar dan memudahkan intervensi kepentingan lawan. Penyiapan dokumen bahasan lama dan membahas konsep antisipasi atau kelanjutan bahasan lamapun terkadang tidak dilakukan secara bersama. Instansi terkait langsung cenderung memegang kendali, lebih dari itu kepentingan yang diutarakan instansi terkadang tidak diketahui oleh instansi lain, masing-masing berusaha menyatukan kepentingan justru disaat negosiasi berjalan. Kepiawaian lawan mengatur waktu dan mengangkat agenda yang dibicarakan justru mengarah pada materi yang menjadi kepentingannya, dengan demikian terjadi penyisihan tidak langsung hal yang akan menjadi proposal pihak kita, kalaupun ada tidak seimbang baik kuantitas dan kualitas proposal.
- Tim negosiator yang disiapkan merupakan tenaga ahli namun tidak berkecimpung pada kegiatan berikutnya secara menerus, kurang memahami proses dasar berlangsungnya pembicaraan dan koordinasi. Pada bidang atau masalah secara sektoral memang paham mendalam akan tetapi tidak menunjukkan keterpaduan kepentingan delegasi. Follow up hasil perjanjian tidak melalui tahapan sebagaimana seharusnya, tidak dapat memberdayakan keuntungan dari peluang yang ada. Perlunya tim negosiator dari personel yang faham tujuan dan kepentingan kolektif delegasi, sehingga kemanapun arah bahasan masing masing dapat menjaga diri tetap pada koridor materi kepentingan. Tenaga ahli, pengambil keputusan, pelaksana penyiapan konsep dan negosiator umumnya terputus dalam memahami keinginan kepentingan kolektif dan kepentingan masing masing bidang. Kecenderungan tidak terlalu concern terhadap bidang yang tidak dibahas karena merasa bahwa tidak perlu mengetahui masalah pada bidang lain. Sikap demikian menimbulkan ketidak terpaduan penerimaan dan pemberdayaan proposal pihak lain yang ditawarkan. Sebaiknya tim negosiator merupakan personil yang memahami proses pembicaraan awal, penyusunan konsep materi dan hal yang menjadi kepentingan bidang atau kepentingan kolektifnya. Dengan demikian antisipasi atasi tawaran proposal yang tidak seimbang dan tidak bersifat mutual benefit dapat digiring dan fokus pada pembahasan kepentingan bersama guna kesepatakan seimbang. Penyiapan tim delegasi semacam ini sebagai contoh salah satu membentuk kunci kekuatan delegasi.
- Secara perorangan negosiator atau anggota delegasi tidak dibekali dengan dasar dasar negosiasi yang kuat, apa yang menjadi keharusan dalam melakukan pendekatan atau lobby perlu penyegaran kembali. Pengalaman melakukan pertemuan dan pembahasan dirasa cukup menjadi anggota delegasi dalam negosiasi. Kemampuan menafsirkan pembicaraan pihak lain sangat menentukan pemahaman dan respon yang harus dilakukan. Oleh karena itu, kemampuan dalam negosiasi tiap anggota juga perlu mendapat peningkatan atau upgrade berkala yang disesuaikan dengan forum yang akan dihadapi serta isu yang diangkat. Tidak memiliki think tank yang berada pada lapisan kedua yang bertugas membahas secara luas dari berbagai segi guna mendapatkan kekuatan, kelemahan peluang dan kendalah yang harus dihadapi. Penyiapan skenario terburuk dengan risiko jarang diperhitungkan yang lebih ironis adalah tidak memiliki parameter dalam mengukur keberhasilan kerjasama maupun perjanjian yang telah dicapai. Think tank yang ada merupakan batu dasar dalam mengambil keputusan dalam sidang sebelum menentukan kesepakatan. Untuk itu, think tank juga mengikuti jalannya pembahasan dan materi yang diangkat, sehingga dalam melakukan evaluasi dan analisa secara cepat menjadi referensi anggota delegasi. Kebiasaan penunjukan anggota delegasi pada pejabatnya terkadang sangat merugikan, karena jarang ada pejabat yang secara tetap pada jabatan tersebut.
Demikian tulisan singkat ini kiranya dapat menggugah kita terutama atau calon negosiator nasional untuk lebih siap dan fokus dalam suatu pembahasan kesepakatan serta berani menegosiasikan konsep kepentingan yang telah dibahas matang sebelumnya. Evaluasi perolehan kontribusi balik dari berbagai aspek harus dilakukan sebagai landasan pada pembahasan lanjut, mengutarakan ketidakseimbangan mutual benefit harus dilakukan dan mencari metode baru agar kesepakatan berkeadilan bagi kedua belah pihak.
Jakarta, Januari 2017