Petak Umpet

Pak Prijono

oleh Prijono Tjiptoherijanto (*)

 

Ada permainan yang popular di kalangan anak-anak kampung. Permainan yang sangat digemari sejak masa lampau. Nama permainan tersebut “petak umpet”. Aturan permainan sangat sederhana. Seseorang yang kalah dalam undian berperan menjadi pencari teman-temannya yang bersembunyi sambil menutup mata dan menghitung sampai sepuluh. Anak yang kalah undian harus menunggu teman-temannya bersembunyi. Setelah perhitungan kesepuluh, dia boleh membuka mata dan mulai mencari tempat persembunyian teman-temannya. Ada tonggak atau batang pohon yang dijadikan pusat permainan. Setiap anak yang bersembunyi mencoba mencapai tonggak tersebut sebelum didahului anak pencari, bila tempat persembunyiannya diketemukan. Siapa yang kalah mencapai tongggak lebih dulu akan menggantikan menjadi si pencari. Demikian aturan yang disepakati bersama.

Permainan yang bermanfaat untuk menguji kecepatan, kejelian memperhatikan tempat sembunyi, maupun kecerdikan tersebut, saat itu sudah mulai terhapus oleh permainan-permainan lain yang lebih modern. Bahkan kanak-kanak daerah perkotaan, agaknya tidak terlalu mengenal permainan ini. Sedangkan di kampung-kampung juga sudah mulai hilang, seiring semakin terbatasnya lahan tempat bermain bagi anak-anak. Kalau tetap dilakukan mungkin malah akan mengganggu lingkungan. Menyebabkan ketidaknyamanan bagi pengguna lahan  yang memakainya untuk jemuran, menaruh motor atau bahkan membuka warung makan dan menjual keperluan sehari-hari.

Bagian yang menarik dari permainan ini adalah kejelian mencari tempat persembunyian agar tidak mudah diketahui. Selain harus tersembunyi, perlu juga akses yang mudah kearah tonggak ataupun pohon yang dijadikan pusat permainan. Sehingga bila terpaksa lari karena tempat sembunyi sudah diketemukan bisa cepat mencapai tonggak tersebut. Tetapi ada juga anak yang sangat nakal. Bukan mencari tempat persembunyian yang dekat, tetapi pulang ke rumah dan tidur. Dengan demikian sampai permainan usai, juga tidak akan bisa ditemukan. Walaupun tidak banyak anak nakal yang bersifat demikian, kemungkinan tersebut selalu ada. Peluang tetap selalu terbuka.

“Petak-Umpet” yang sudah memudar sebagai permainan anak-anak kampung tersebut, sekarang telah menjelma menjadi bentuk permainan yang digemari para politisi, pejabat tinggi dan kelompok atas dalam masyarakat. Mereka pandai sekali bersembunyi atau menyembunyikan diri sehingga sulit diketahui. Bahkan seringkali sengaja mengecoh dengan berbagai berita palsu, sehingga seolah-olah menjadi misteri. Ditambah dengan bantuan sanak-saudara, keluarga dan teman-teman dekat, sulit sekali menemukan tempat persembunyian mereka. Apalagi bila yang bertugas mencari juga kurang serius, takut-takut dan mempunyai ketakutan atas keselamatan diri dan keluarganya sendiri. Lengkap sudah permainan “petak-umpet” tingkat tinggi ini. Tinggal para penonton, masyarakat luas, yang gemas melihat permainan yang tidak lagi demokratis dan tidak memperlihatkan adu kecerdasan seperti aslinya. Hanya semacam sandiwara yang selayaknya dipentaskan ditempat tertentu. Bukan merupakan pertunjukan umum yang hanya akan menebarkan kecemasan.

Peristiwa-peristiwa yang berlangsung akhir-akhir ini seolah-olah seperti permainan “petak-umpet” tingkat tinggi tersebut. Ada tersangka yang tidak diketahui tempat persembunyiannya. Sedangkan banyak pihak yang mengetahui di mana bisa ditemukan. Bahkan masih melakukan komunikasi dengan keluarga yang tentunya bisa diminta pertanggungjawaban untuk memberitahu tempat persembunyian. Adapula seorang yang telah ditetapkan dan dipanggil sebagai saksi, tetapi selalu mangkir dan tidak bisa ditemukan di mana tempat bersembunyi. Sedangkan teman-temannya dengan mudah dapat bercengkrama bahkan selalu berhubungan lewat telepon ataupun layanan pesan singkat (SMS) dan whatsapp (WA). Sungguh suatu permainan “petak-umpet” tingkat tinggi yang amat menggelikan sekaligus juga menyakitkan nurani rakyat biasa, kelompok marginal, yang sering sulit bila bermaksud mencari keadilan.

Permainan kanak-kanak “petak-umpet” sekarang ini telah menjadi permainan umum kalangan atas, para politisi, birokrat dan mantan pejabat, serta mereka yang memiliki harta berlimpah. Seyogyanya permainan tersebut tetap kembali menjadi kebahagiaan anak-anak di kampung. Menjadi sikap kurang cerdas dan tidak mendidik bila para orang tua yang sangat terpandang, mereka juga memainkan “petak-umpet”. Agaknya perlu ada rasa malu dan juga kepedulian kepada masyarakat luas, saudara sebangsa setanah air yang tidak mampu ikut permainan “petak-umpet” tingkat tinggi tersebut. Semoga saja…

Jakarta, 15 Oktober 2016

(*) Penulis adalah dosen dan sekaligus pengamat masalah-masalah sosial.

 

Search