oleh Prijono Tjiptoherijanto (*)
Sekitar lima tahun lalu, Menteri Luar Negeri Jepang Seiji Maehara (48 tahun) mengundurkan diri karena menerima donasi politik ilegal dari warga negara asing. Selain di Jepang, Menteri Luar Negeri Prancis, Michelle Alliot Marie, juga mengundurkan diri setelah gagal menangani protes besar-besaran yang terjadi di Tunisia. Demikian juga Menteri Pertahanan Jerman, Karl-Theodor Zu Guttenberg, mengundurkan diri setelah dilaporkan melakukan plagiarisme saat menulis tesis untuk memperoleh gelar doktornya. Para menteri dari negara-negara maju tersebut berani mengundurkan diri bila merasa tidak mampu melaksanakan tugas ataupun malu atas perbuatan yang pernah dilakukan. Segera mengajukan permohonan berhenti tanpa harus menunggu perintah atau keputusan atasan, seorang Presiden atau Perdana Menteri yang sedang berkuasa.
Menjelang rumor perombakan kabinet yang pada hari-hari belakangan ini menjadi pembicaraan hangat sampai di kedai kopi, ramai-ramai para menteri segera menyatakan siap diganti. Tanpa menyebut alasan mengapa menyatakan kesiapan tersebut, para menteri ini berulang kali nampang di layar kaca seolah-olah ingin menantang atasannya, apa memang berani memberhentikan. Sudah pasti dalam hati kecilnya, mereka berharap-harap cemas agar Presiden tidak menerima tantangan tersebut dan tidak mencopot mereka dari kursi kedudukannya. Bagaimanapun jabatan itu empuk, seperti sofa di rumah-rumah mewah. Nyaman dan dapat menina-bobokan seseorang. Tidak ada seorangpun yang betul-betul siap untuk berhenti tanpa harus menunggu diberhentikan. Budaya yang berkembang pada bangsa-bangsa di dunia memang berbeda dengan yang berlaku di Indonesia.
Pergantian kabinet bukan barang baru. Pada masa pemerintahan almarhum Presiden Soekarno, bongkar-pasang para menteri sering dilakukan. Apalagi pada saat pemerintahan belum kembali kepada UUD 1945, sesuai Dekrit Presiden 5 Juli. Dalam sistem pe-merintahan parlementer, bongkar-pasang kabinet merupakan hal biasa. Pemerintahan almarhum Presiden Suharto menganut azas stabilitas. Presiden dan para pembantunya aman selama lima tahun masa pe-merintahan. Pak Harto hanya akan mengganti pembantunya, seorang menteri, bilamana yang bersangkutan meninggal dunia. Hanya pada tahun 1995 ketika almarhum Pak Harto merasa kurang nyaman dengan seorang menteri, dilakukan pencopotan melalui penggabungan dua departemen penting yang berskala cukup besar menjadi satu pada saat itu.
Almarhum KH Abdurrahman Wahid merupakan Presiden yang paling gemar melakukan bongkar-pasang anggota kabinetnya. Tidak heran kalau dalam masa pemerintahannya bisa saja seorang menteri hanya menjabat “seumur jagung, alias tiga bulan. Bahkan ada yang lebih cepat diganti tidak lebih dari sebulan setelah menjabat. Presiden kelima, Megawati Soekarnoputri, mengikuti jejak Pak Harto. Selama tiga tahun menjabat tidak dilakukan penggantian anggota kabinet. Kecuali bagi yang sukarela mengundurkan diri untuk mencari kedudukan dan kewenangan lebih tinggi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan pergantian menteri pada masa kedua kepemimpinannya. Itupun dilakukan setelah dua tahun kabinet berjalan.
Pengalaman bongkar-pasang anggota kabinet yang pernah terjadi selama ini memang berbeda dengan yang dialami Jepang ataupun negara-negara Eropa. Inisiatif dan keputusan selalu datang dari Presiden dan bukan atas dasar kesadaran para menteri akan kemampuan sendiri atau dari integritas dan harga diri. Perasaan malu karena telah berbuat kesalahan fatal. Budaya memang berbeda. Kebiasaan menunggu “titah raja” memang telah mengakar sejak lama. Mendahului kehendak pimpinan berlawanan dengan kelaziman. Oleh karenanya, bila “raja tidak bersabda” maka tidak akan terjadi sesuatu. Perbedaan kedudukan dan kekuasaan menjadi acuan. Berbeda dengan bangsa-bangsa di Eropa, dan mungkin juga Amerika Serikat, yang memandang semua orang sederajat. Tidak melihat pangkat ataupun jabatan. Sehingga seorang Presiden hanya disapa dengan sebutan “mister” dan bukan disapa memakai gelar “yang mulia ataupun paduka Presiden” seperti terjadi pada beberapa negara di Asia.
Budaya Jepang mengenal dan memahami benar istilah “malu”. Sehingga bilamana merasa malu telah berbuat kesalahan, berani bertanggungjawab dengan mengakui kekeliruannya tersebut dan bahkan bersedia mengundurkan diri. Pada masa lalu untuk menebus rasa malu dan ingin mempertahankan harga diri, bangsa Jepang bersedia melakukan “hara-kiri”, membunuh diri sendiri. Budaya semacam itu juga masih dimiliki beberapa suku bangsa di Indonesia, meski saat ini sudah mulai memudar. Keinginan untuk hidup terus, apalagi telah merasakan
empuknya jabatan, mampu menutupi rasa malu tersebut.
Perombakan anggota kabinet bisa saja dilakukan bila memang diperlukan. Keputusan itu akan datang dari Presiden. Bukan atas kesadaran para pembantunya sendiri yang merasa tidak mampu melaksanakan tugas. Tidak akan ada seorang pun menteri yang secara kesatria berani mengajukan pengunduran diri, meski sudah dikritik dari sana-sini lantaran tidak bisa menunjukkan hasil kerja nyata. Budaya “nabok nyilih tangan” selalu dipergunakan. Menggunakan media massa untuk me-ngatakan siap diberhentikan, sedang sebenarnya berharap Presiden akan tetap mempertahankan. Pada “jaman edan” seperti sekarang ini, hanya yang berani “edan” yang akan kebagian. Mereka yang punya sifat “eling lan waspodo” sudah lama dilupakan. Jadi mengapa ribut soal pergantian menteri? Bahkan sampai menghitung hari dan menyesuaikan tanggal yang mungkin menjadi patokan penggantian anggota kabinet. Masyarakat memang tidak perlu berharap para Menteri mundur sebelum diberhentikan atau diganti.
Jakarta, 11 Oktober 2016
(*) H. Prijono Tjiptoherijanto pernah menjabat sebagai Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Tahun 2000-2002, dan Sekretaris Wakil Presiden periode 2003-2005.