oleh Prof. Dr. Sjamsi Pasandaran, M.Pd (*)
Konteks dan Tantangan. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk baik agama, bahasa, etnis, maupun budaya. Kemajemukan itu sesungguhnya dapat menjadi kekayaan dan sekaligus kekuatan dalam membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tetapi dalam dua dekade terakhir ini, teramati realitas mengenai pen-cideraan terhadap budaya, seperti perusakan hak hidup komunitas minor, konflik horisontal yang terjadi di berbagai daerah, dan kebijakan pengelolaan kebudayaan yang dilakukan dalam keseragaman yang represif. Realitas pencideraan budaya tersebut merefleksikan lemahnya pengakuan terhadap keragaman budaya yang ada, padahal para pendiri bangsa ini telah meletakkan dasar-dasar politik yang menjamin kemajemukan masyarakat yang terjelma di dalam nilai-nilai Pancasila. Meminjam istilah Charles Taylor, Pancasila sesungguhnya merupakan the politic of recognition terhadap keragaman budaya yang dimiliki oleh setiap komunitas budaya di Indonesia.
Berbagai problematik kemajemukan masyarakat yang ada, memberi tantangan bagi kita yaitu bagaimana secara kreatif dan cerdas kita mampu mengelola kemajemukan budaya yang dimiliki, sehingga terbangun kehidupan masyarakat yang demokratis, maju dan modern dalam suatu tatanan kehidupan masyarakat global tanpa tercabut dari akar budaya. Kehidupan masyarakat yang sedemikian itu, memerlukan warga masyarakat yang memiliki kompetensi yang oleh Mikel Hogan Gracia disebut kompetensi keragaman budaya atau cultural diversity competence. Mikel Hogan (2003) mendefinisikan kompetensi keragaman budaya sebagai kemampuan dan kecakapan yang berupa kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan-keterampilan interpersonal dalam berinteraksi dengan se-seorang atau suatu komunitas masyarakat yang memiliki perbedaan latar belakang budaya, agama, kepercayaan, sistem nilai dan perilaku budaya. Kompetensi ini diperlukan untuk dapat membangun kehidupan masyarakat saling menghargai, menerima keragaman budaya yang ada, dan berinteraksi secara harmonis dalam hidup bersama untuk bersama-sama hidup.
Pendidikan Multikultural seperti apa?
Dalam konteks pembentukan keragaman budaya, pendidikan multikultural menjadi sesuatu yang imperatif. Pertanyaannya adalah bagaimana mengembangkan konsep dan praksis pendidikan multikultural yang mencakup baik refleksi filosofis, dimensi-dimensi maupun bentuk dan model implementasinya. Bagaimana konstruksi pendidikan multikultural dalam sistem pendidikan nasional Indonesia?
Pertama, menempatkan, menjadikan dan memperkuat Pancasila sebagai dasar politik pendidikan multikultural. Di dalam filosofi ini terkan-dung makna yang menjamin pengakuan bahwa di dalam realitas kemajemukan terkandung diversitas eksistensi mengenai hak, kebebasan, dan kebutuhan pengakuan terhadap eksistensi itu sendiri. Di dalam keragaman itu, ada hak, ide, panda-ngan hidup, cita-cita, gagasan, dan kebebasan yang menjadi eksistensi individu ataupun komunitas yang membutuhkan pengakuan dari orang yang lain. Artinya Pancasila memberi landasan filosofis yang kuat bagi penyelenggaraan pendidikan multikultural dalam sistem pendidikan nasional.
Kedua, pendidikan multikultural hendaknya dipandang sebagai suatu proses untuk memperkuat pengakuan terhadap keragaman budaya yang dimiliki oleh setiap komunitas masyarakat dan budaya yang ada. Pengakuan ini menjadi sangat penting, karena realitas suatu kemajemukan mengandung suatu kebutuhan esensial yaitu pengakuan bahwa setiap individu ataupun suatu komunitas memiliki eksistensi (budaya), yang keberadaannya menjadi sesuatu yang imperatif untuk diakui oleh orang lain.
Ketiga pengembangan dimensi pendidikan mutlikultural yang menjamin dimensi-dimensi (1) isi pendidikan multikultural secara terintegrasi memuat identitas budaya setiap komunitas dan area budaya yang ada, (2) pemerataan dan keadilan pendidikan tanpa diskriminasi (equity pedagogy) sebagai pengakuan terhadap keragaman budaya yang memperkuat integrasi bangsa, (3) pengembangan sistem pengetahuan baik pengetahuan faktual, konseptual, maupun metakognitif mengenai kebudayaan, (4) dimensi pengorganisasian sebagai strategi manajemen pendidikan yang dikemas secara terintegrasi pada semua tingkatan, jenis, dan jenjang pendidikan.
Keempat, pengembangan kurikulum yang mencirikan karakteristik seperti (1) kurikulum dalam perspektif budaya yang beragam, yaitu kurikulum harus memberi ruang yang lebih luas kepada sekolah untuk mengembangkan karakteristik dan identitas kultural kelembagaannya baik dalam konteks pewarisan nilai-nilai budaya yang menjadi local genius, transformasi budaya maupun rekonstruksi sosial, (2) kritikal dan inklusif yaitu kurikulum yang mendorong terjadinya interaksi positif dan kritis tanpa terjebak dalam sikap-sikap primor-dialistik kesukuan, agama, ataupun identitas kultural individu, masyarakat, kelompok maupun institusi, (3) kurikulum yang menumbuhkan responsibilitas sosial sebagai salah satu keterampilan kompetensi keragaman budaya yang dikembangkan melalui berbagai model pembelajaran inovatif seperti participatory learning, contextual teaching and learning, dan/atau cooperative learning, (4) pengembangan pembelajaran yang berintikan pada pembentukan kemampuan how learn to learn sebagaimana yang terkandung di dalam prinsip Education for All Unesco dengan mengembangkan prinsip learning to know, learning to do, learning to be, and learning to live together.
Pendidikan multikultural mempunyai peran yang sangat penting dalam sistem pendidikan nasional terutama dalam memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bangunan masyarakat multikultural memerlukan komitmen bersama terhadap Pancasila sebagai politik multikulturalisme dan etos dalam keseluruhan praksis pendidikan multikultural, yang akan memperkuat kompetensi keragaman budaya menuju transformasi masyarakat Indonesia yang maju dan modern tanpa teralienasi dari tatanan kehidupan masyarakat global, tetapi juga tanpa kehilangan identitas budaya. Praksis pendidikan multikultural, memerlukan penguatan pada dimensi-dimensi pengembangan kurikulum dan proses pendidikan yang menjamin diversitas budaya, kritikal, dan responsibilitas sosial.
***
(*) Tentang Penulis:
Prof. Dr. Sjamsi Pasandaran, M.Pd adalah Guru Besar pada Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewargenegaraan Universitas Negeri Manado (Unima); Asesor Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).