[dropcap]S[/dropcap]empat alot dalam pembahasan, akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah mengesahkan Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak (tax amnesty) menjadi Undang-Undang (UU) pada Sidang Paripurna Ke-32 masa jabatan 2014-2019 tanggal 28 Juni 2016. Pengampunan pajak itu sendiri adalah penghapusan pajak yang seharusnya terhutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan ke kas negara. Kewajiban pajak yang mendapat pengampunan pajak terdiri atas kewa-jiban pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah.
Kebijakan tax amnesty seyogyanya dapat dilihat dengan perspektif yang luas. Tax amnesty bukan semata persoalan penerimaan negara, akan tetapi juga potensi untuk mendorong roda perekonomian yang akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar Rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi. Di tengah kondisi global yang masih lesu, setiap tambahan penerimaan merupakan sumber penggerak perekonomian yang ditunggu. Pada jangka yang lebih panjang, kebijakan ini mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi sehingga dapat mendukung terwujudnya postur APBN yang lebih sustainable. Pada akhirnya, penerimaan pajak yang lebih tinggi bisa meningkatkan kapasitas belanja pemerintah, bukan hanya untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur, melainkan juga menjalankan program-program kesejahteraan masyarakat lainnya.
Di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) Tahun 2016, pemerintah menargetkan penerimaan dari tax amnesty sebesar Rp165 triliun. Jumlah tersebut diperoleh berdasarkan data-data pengemplang pajak yang dimiliki oleh pemerintah. Wajib pajak yang belum melaporkan pajaknya akan mendapat tarif tebusan yang lebih rendah. Tarif tersebut dibagi menjadi tiga kategori, yakni bagi usaha kecil menengah, wajib pajak yang bersedia merepatriasi asetnya di luar negeri, serta deklarasi aset di luar negeri tanpa repatriasi. Aset yang direpatriasi akan diendapkan selama tiga tahun oleh pemerintah melalui surat berharga Negara Republik Indonesia, obligasi Badan Usaha Milik Negara, obligasi lembaga pembiayaan yang dimiliki oleh Pemerintah, investasi keuangan pada Bank Persepsi dan bentuk investasi lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Melihat kecenderungan pertumbuhan ekonomi global yang melambat dan dampak yang ditimbulkan akibat keluarnya Inggris dari Uni Eropa, maka ketidakpastian investasi dan perdagangan yang akan dihadapi oleh Pemerintah Indonesia semakin tinggi. Di sisi lain pemerintah gencar melakukan percepatan pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia. Untuk itu, pemerintah membutuhkan dana yang besar dari porsi APBN yang ada. Di lain pihak, penerimaan pajak Tahun 2015 jauh dari target yang ditetapkan. Tren penerimaan pajak Tahun 2016 juga tidak lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Maka dari itu, tambahan penerimaan dari tax amnesty menjadi sangat berarti bagi APBN dan dapat menjaga defisit anggaran yang ditetapkan sebesar 2,35%.
Dalam rangka mengamankan APBNP 2016 dari sisi defisit, stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, Ketua Dewan Pertimbangan Presiden, Prof. Dr. Sri Adiningsih menyelenggarakan pertemuan terbatas untuk mendiskusikan hal tersebut secara lebih komprehensif pada Selasa, 26 Juli 2016 di Kantor Dewan Pertimbangan Presiden. Hadir sebagai narasumber dalam pertemuan tersebut antara lain: Dr. Sofian Djalil, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala BAPPENAS; Bobby Hamzar Rafinus, Deputi Bidang Moneter dan Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; Askolani, S.E., M.A., Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan; Yustinus Prastowo, S.E., M.Hum., M.A., Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA); dan Dr. Enny Sri Hartati, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). (Bnk)