Mengacu pada “Sembilan Agenda Prioritas” (Nawa Cita) Jokowi-JK, maka kebijakan pendidikan nasional berbasis kemajemukan bangsa perlu dikaji ulang secara mendasar dan mendalam, dan dicari konsep pendidikan yang aplikatif. Bagaimana pandangan Prof. Dr. Meutia Hatta Swasono, Anggota Wantimpres periode Tahun 2010 s.d. 2014, yang juga menjabat sebagai Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia seputar kebijakan pendidikan saat ini, dan bagaimana menjelaskan kemajemukan Indonesia kepada anak-anak. Lebih lanjut, Fikroh Amali dan Aris Munandar, Tim Warta Wantimpres berkesempatan mewawancarai Beliau (26/8) di kediamannya di bilangan Rawamangun, Jakarta. Berikut petikan wawancaranya.
Indonesia adalah bangsa yang majemuk dalam multidimensi. Bagaimana mengajarkan kepada anak-anak sejak dini, dengan pendekatan dan bahasa yang mereka pahami tentang keberagaman, mencintai tanah air dan budaya tetapi tidak menjadikan mereka sebagai bangsa yang etnosentris?
Dalam mengajarkan kepada anak-anak, kita perlu mengetahui bahasa apa yang mereka gunakan di rumah, Bahasa Indonesia saja atau juga bahasa daerah? Untuk mengangkat kesadaran tentang kemajemukan Indonesia, anak-anak Indonesia minimal perlu mengetahui kata-kata kunci seperti “terimakasih”, “maaf”, “apa kabar”, “selamat” dan “silahkan”. Kepada para orangtua perlu ada dorongan agar anak-anak mempunyai satu atau dua potong pakaian daerah, ornament, mengenal musik daerah dan menyukai minimal satu macam kuliner daerahnya, yang bisa banggakan pula kepada orang lain dari non
etnisnya.
Dari kecil anak-anak harus mengetahui lewat ajaran sekolah bahwa mereka orang Indonesia, walaupun berasal dari etnis yang berbeda dan sekali pun berbeda etnis, mereka harus tetap bersatu sebagai bangsa Indonesia. Bukankah nenek-moyang mereka sejak ratusan tahun yang lalu sudah menjadi penghuni Kepulauan Nusantara yang sebagian besarnya sekarang telah menjadi wilayah NKRI? Anak-anak juga perlu belajar mengenai kemajemukan dalam menggunakan teknologi yang tersedia dalam lokasi yang berbeda. Di berbagai ekologi, misalnya beragam bentuk rumah adat, termasuk rumah yang anti-gempa sesuai kearifan lokal mereka. Semua itu harus diajarkan sehingga menimbulkan kebanggaan akan kekayaan alam dan hasil karya orang Indonesia dari berbagai etnis. Dari segi etika pergaulan, anak-anak juga perlu diajarkan tentang prinsip kebersamaan dan tidak saling menghina satu sama lain. Sedari kecil harus sudah tertanam rasa cinta tanah air, rasa simpati, kepedulian, dan tolong-menolong, serta bagaimana menjaga lingkungan, misalnya menggunakan air secukupnya, sebab masih banyak orang yang kesulitan mendapatkan air bersih. Mereka harus memiliki kesadaran ini, apalagi sebagian dari mereka akan menjadi pemimpin masa depan.
Menurut Ibu, apakah kebijakan pendidikan nasional saat ini sudah sesuai dengan kebutuhan Bangsa Indonesia yang majemuk?
Untuk pelajaran matematika dan pelajaran umum lainnya mungkin bisa dikatakan sudah, walaupun pelajaran umum yang diberikan terkadang kurang membumi, karena menggunakan kalimat-kalimat yang sulit dipahami anak-anak dan kurangnya peragaan/peralatan yang dibutuhkan. Selain itu, walaupun Bangsa Indonesia hidup di pulau-pulau yang berbeda, prinsip Wawasan Nusantara harus diajarkan sejak dini. Kemampuan membaca peta bumi juga harus dilatih sejak kelas 4 SD. Selain itu perlu ditingkatkan seringnya mengangkat slogan, “Bangsa Indonesia tinggal di pulau-pulau yang dipersatukan oleh
lautan”, bukan “dipisahkan” oleh lautan. Ini untuk menanamkan prinsip kesatuan bangsa sejak dini (usia SD). Kesadaran siswa Indonesia akan prinsip kebersamaan sebagai Bangsa Indonesia tetap menjadi tanggungjawab Sistem Pendidikan Nasional melalui semua jajarannya. Gagasan persatuan penting untuk menjaga kekuatan bangsa. Tanpa persatuan (persatuan hati, bukan sekedar hidup berdampingan), berbagai etnis di Indonesia yang memiliki identias sebagai Bangsa Indonesia, tidak akan mampu untuk secara efektif menjaga tanah air kita. Anak Indonesia kelak merupakan pelaku pembangunan Indonesia di masa depan. Maka itu, perlu ditanamkan kesadaran untuk menguasai pengetahuan yang diperlukan kelak. Misalnya, harus ada cukup anak-anak Indonesia yang didorong untuk mengambil studi kelautan, khususnya studi tentang laut dalam, Karena kita memiliki laut dalam dan laut dangkal sekaligus. Tidak semua negara memilikinya. Jangan kita tidak mendorong anak-anak Indonesia untuk me-nguasai pengetahuan tentang keunikan Indonesia a.l. kelautan, perikanan, rumput laut, geologi, kehutanan, khususnya hutan hujan tropis, pengetahuan tentang gunung berapi dengan “ring of fire”nya, gunung es di kawasan tropis, pertambangan, jenis-jenis sumber energi dari laut, bumi dan udara, dll. Cara menumbuhkan minat itu perlu ada bantuan dari film-film documenter. Saya sangat yakin mereka mampu, sehingga kita tidak perlu tergantung pada ahli-ahli asing sebanyak yang kita rekrut sekarang ini dengan biaya dan fasilitas yang cukup besar pula. Orang Indonesia sendiri mampu melakukannya, jika mereka mendapat pelatihan yang memadai dan tuntas, tidak tanggung-tanggung.
Semua anak Indonesia pada dasarnya cerdas, memiliki kelebihan, bakat dan potensi masing-masing. Akan tetapi sebagian para pendidik tidak sensitif memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat para siswanya, proses belajar seperti dipaksakan dan monoton, akibatnya anak-anak tidak nyaman dengan sekolah. Apa yang sebaiknya dilakukan?
Sekolah harus menyediakan ahli, apakah dia seorang guru senior atau seorang psikolog yang bisa memahami kondisi kejiwaan guru. Jangan sampai guru menjadi stres dan hubungan dengan siswa menjadi tidak harmonis. Banyak guru yang gajinya kecil di bawah standar kebutuhan hidup, dan harus mencari tambahan penghasilan. Karena itulah maka umumnya guru kekurangan waktu untuk meningkatkan kompetensi mengajarnya, dan hal ini membuatnya stres. Itu sebabnya, guru membutuhkan konseling psikologis dan juga jalan keluar dari sekolah. Selain itu, guru memerlukan pelatihan untuk kreatif dalam menyampaikan materi yang diajarkannya. Guru juga perlu waktu untuk bertemu sesama guru dari etnis lain untuk bertukar informasi.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah mengenai kebijakan buku ajar saat ini. Bagaimana tanggapan ibu?
Sistem inilah yang harus diperbaiki. Di masa lalu, tujuan Balai Pustaka (BP) adalah untuk memberi bacaan dan pendidikan bagi rakyat, terutama anak-anak. Kemudian BP diarahkan membuat buku ajar sebagai sebuah proyek. Prof. M. Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Mustafa Abubakar, Menteri BUMN di KIB I sudah menyatakan bahwa BP tidak boleh dibiarkan bersaing, pasalnya BP bukan perusahaan buku komersial. Inilah yang harus dikembalikan, BP utamanya untuk menerbitkan buku dalam konteks pendidikan karakter bangsa, kesadaran berbangsa dan bernegara, serta untuk menumbuhkan kesadaran akan corak kemajemukan masyarakat yang tidak kehilangan unsur etnis maupun nasionalismenya. BP juga perlu memperkuat kemampuannya tentang teknologi digital, sesuai era digital saat ini, dan meningkatkan mutu kerjasamanya dengan Perpustakaan Nasional. (MEL)