Optimalisasi Pencegahan Konflik Sosial

Sejak Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 hingga sekarang, keberlangsungan penyelenggara pembangunan nasional tidak pernah bebas dari ancaman keamanan. Berbagai gejolak yang membahayakan keamanan nasional, mulai dari pemberontakan, aksi separatisme, terorisme, kerusuhan hingga terjadi konflik sosial menjadi pengalaman buruk yang mengakibatkan terganggunya stabilitas keamanan nasional. Di satu sisi, Indonesia merupakan negara demoktratis dengan jumlah penduduk terpadat Ke-4 di dunia yang terdiri dari beraneka ragam, suku, etnis, budaya, bahasa daerah, agama. Namun, di sisi lain Indonesia mempunyai potensi ke-kuatan besar untuk membangun bangsa sekaligus juga memiliki kerawanan karena adanya berbagai perbedaan yang sewaktu-waktu bisa memicu ter-jadinya konflik sosial.

Dalam setiap konflik yang terjadi, pemerintah dengan cepat dapat mengatasinya dengan baik sehingga konflik tidak berkembang luas. Namun konflik sosial masih kerap terjadi, kondisi tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi bahaya laten berupa konflik sosial yang dapat sewaktu-waktu timbul di masyarakat. Oleh karena itu, upaya untuk mencegah terjadinya konflik sosial merupakan langkah strategis yang perlu dilakukan pemerintah agar konflik sosial tidak semakin meluas, sehingga stabilitas keamanan yang kondusif tetap terjaga.

Dengan latar belakang tersebut, Tim Kajian Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Letjen TNI (Purn) M. Yusuf Kartanegara telah menyelenggarakan pertemuan dengan topik Optimalisasi Pencegahan Konflik Sosial guna Mendukung Terciptanya Kondisi Keamanan yang Kondusif bagi Pembangunan Nasional pada tanggal 11 Agustus 2016, di Kantor Wantimpres. Sebelumnya Tim kajian telah melakukan beberapa kegiatan pertemuan dengan mengundang narasumber dari berbagai latar belakang. Pengumpulan data lapangan di daerah juga dilakukan untuk memperkaya data dan masukan yang nantinya akan dikaji menjadi sebuah naskah kajian yang komprehensif. Narasumber yang diundang pada pertemuan kali ini yaitu Dr. Ichsan Malik (Dosen Tetap Prodi Damai Resolusi Konflik, Universtias Pertahanan), Prof. Thamrin A Tomagola (Sosiolog Universitas Indonesia) dan Dr. Ngatawi Al Zastrouw (Budayawan).

Dr. Ichsan Malik menyampaikan bahwa dalam menganalisa dinamika konflik dibutuhkan keseimbangan dalam melihat faktor konflik (akar konflik, akselerator dan pemicu) dan aktor konflik (provokator dan kelompok rentan). Konflik dapat dianggap sebagai penyakit, dan memerlukan kecermatan dalam mendiagnosanya, harus dibedakan gejala dengan akar penyakit, sehingga prognosa dan treatment menjadi efektif.

Sedangkan Prof. Thamrin A Tomagola dalam paparannya menyampaikan apabila kemajemukan suku, etnis, dan budaya tidak dikelola dengan baik akan dapat menjadi potensi konflik, setidaknya terdapat 10 suku dominan yang ada di Indonesia, kesepuluh suku tersebut telah mencetak tokoh-tokoh nasional. Yang perlu menjadi perhatian adalah ketika terjadi pengkaplingan posisi strategis atas nama suku, hal tersebut akan berdampak pada marginalisasi suku. Dalam pencegahan konflik sosial, pemerintah harus membuat early warning system.

Sebagai narasumber terakhir, Dr. Ngatawi Al Zastrouw menyampaikan langkah strategis dalam pencegahan konflik sosial yaitu dengan membangun strategi jalur ganda (double track strategy) yang dilakukan secara simultan dan integrative; above the line dan below the line. Pada jalur above the line dilakukan melalui jalur pembentukan wacana melalui media massa, media sosial dan sebagainya; penerapan dan penegakan hukum; lobi politik dan membuat  kebijakan yang bisa mencegah konflik dan mendorong terjadinya integrasi; membuat kesepakatan dan perjanjian antar tokoh masyarakat di daerah yang berpotensi konflik. Sedangkan jalur below the line bisa dilakukan pendekatan dari hati ke hati (merajut hati) melalui dialog intens antar masyarakat yang terlibat konflik, eksplorasi tradisi dan budaya serta nilai-nilai luhur yang bisa mendorong terjadinya integrasi sosial kemudian mengangkatnya ke permukaan sehingga bisa menjadi nilai bersama yang mampu merajut kohesifitas sosial. Tokoh budaya berperan melakukan rekonstruksi dan reaktualisasi tradisi dan nilai-nilai luhur sebagai cara untuk membangun kebudayaan yang bisa mempertahankan tradisi lama yang baik dan menerima nilai baru yang lebih baik.  Dengan cara ini masyarakat memiliki kemampuan untuk mencegah konflik dan menyelesaikannya dengan cara-cara yang beradab (ANDHI)

Search