Kedelai merupakan salah satu komoditas yang menjadi perhatian pemerintah saat ini, kebutuhan akan kedelai di masyarakat cukup tinggi, namun produksinya masih belum dapat mencukupi. Data Kementerian Pertanian menunjukan bahwa hingga akhir Tahun 2016 diperkirakan kebutuhan akan kedelai sekitar 2.520.686 ton, sementara produksi dalam negeri hanya mencapai 1.500.000 ton. Untuk meningkatkan produksi kedelai dalam negeri, Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi dari IPB memperkenalkan sistem budidaya jenuh air (BJA). BJA adalah penanaman dengan memberikan irigasi terus-menerus dan membuat tinggi muka air tetap, sehingga lapisan di bawah perakaran jenuh air.
Sistem BJA ini telah diujicobakan di Kecamatan Berbak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi, dan mampu menghasilkan kedelai sekitar 2,5 ton/ha. Capaian ini jauh di atas rata-rata produksi kedelai nasional yang sebesar 1,57 ton/ha. Dalam rangka untuk melihat langsung lokasi penanaman kedelai dengan sistem BJA ini, Bapak Jan Darmadi, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), pada Tanggal 29 Agustus hingga 1 September 2016 melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Jambi. Selain kunjungan ke lokasi, Bapak Jan Darmadi juga melakukan diskusi dengan para pemangku kepentingan komoditas kedelai di Provinsi Jambi, seperti petani, BPTP Provinsi Jambi, Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Timur, serta Pemerintah Provinsi Jambi.
Pada setiap kesempatan diskusi, Bapak Jan Darmadi senantiasa mengingatkan bahwa selain berusaha untuk meningkatkan produksi kedelai, pemasaran dari hasil produksi kedelai tersebut juga harus dipikirkan. Harga komoditas kedelai harus pula ditingkatkan untuk menarik minat petani menanam kedelai. Harga selama ini yang berkisar Rp5.500,00 per kg dirasa terlalu rendah, sehingga diharapkan harga kedelai berada pada kisaran Rp7.000,00 per kg. Kondisi infrastruktur, khususnya jalan, juga menjadi perhatian dari pihak Wantimpres. Waktu tempuh dari Kota Jambi ke Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang berjarak 85 km, dibutuhkan waktu 2,5 jam dikarenakan kondisi jalan yang kurang memadai. Hal ini menyebabkan proses distribusi hasil pertanian menjadi terganggu. (ARS)