Dewan Pertimbangan Presiden

DEWAN PERTIMBANGAN PRESIDEN

IMPLEMENTASI OTONOMI DAERAH GUNA MENCAPAI TUJUAN BERNEGARA: KEBAHAGIAAN BERSAMA

Penyelenggaraan pemerintahan daerah kini memasuki paradigma baru dengan mengutamakan pendekatan yang lebih bersifat desentralistik, ketimbang semua urusan dan masalah daerah dikelola secara terpusat oleh pemerintah pusat. Posisi pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah lebih bersifat melaksanakan fungsi standarisasi yakni membuat sejumlah regulasi sebagai pedoman bagi daerah untuk melaksanakan pemerintahan daerah, fungsi fasilitasi yakni membantu daerah untuk melakukan kegiatan tertentu dalam hal daerah belum mampu untuk melaksanakan, dan fungsi supervisi yakni melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan agar sesuai dengan pedoman yang ditetapkan pemerintah. Pada hari Kamis (15/09) redaksi Warta Wantimpres berkesempatan untuk mewawancarai Dr. J. Kristiadi, Peneliti Senior Centre for Strategic of International Studies (CSIS) disela-sela kesibukannya, berikut kutipan hasil wawancara:

Bagaimana pandangan Bapak terkait dengan perkembangan penyelenggaraan otonomi daerah dalam era demokrasi di Indonesia apabila dilihat dari instrumen hukum yang ada saat ini?

Sejak era reformasi digulirkan di Indonesia hingga saat ini, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terasa masih belum menemukan format yang tepat. Pemerintahan era reformasi misalnya, melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999  Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah nyatanya belum memberikan pengaruh signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, menimbulkan permasalahan baik dari sisi formulasi maupun implementasinya.

Pada era Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 misalnya, belum genap setahun undang-undang tersebut dijalankan telah terjadi pergantian presiden, menteri, pejabat dan institusi lain yang menangani masalah otonomi daerah. Di sisi lain, karena kuatnya euforia demokrasi baik di pusat dan di daerah maka otonomi daerah diaplikasikan seperti di negara federal, daerah-daerah “sesuka hati” menjalankan kewenangan yang diberikan pusat hingga akhirnya menimbulkan “raja-raja kecil”. Pada masa itu otonomi luas berada pada kabupaten/kota, sedangkan provinsi memiliki otonomi terbatas, akibatnya hubungan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota tidak serasi.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dimaksudkan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan pada undang-undang sebelumnya, namun masih belum mencerminkan suatu otonomi daerah yang berpedoman pada prinsip negara kesatuan (terdapat pakem penyelenggaraan otonomi daerah di negara kesatuan). Negara kesatuan prinsipnya ada pemerintahan pusat dahulu, kemudian pemerintah pusat mendelegasikan sebagian kewenangannya kepada daerah. Saat ini kita sudah kembali ke rel yang benar, kita negara kesatuan, bahwa kekuasaan ada dipusat, diberikan kepada provinsi dan kabupaten kota (telah ada aturanya).

Di sisi lain, pengaturan terkait pemekaran daerah otonomi baru telah diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014, namun saat ini belum ada aturan pelaksana UU tersebut. Bagaimana tanggapan Bapak mengenai hal tersebut?

Otonomi daerah sudah bagus, namun yang gawat adalah membuat aturan pelaksanaan, di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 terdapat hampir 30 Peraturan pelaksana yang harus selesai pada Bulan Oktober tahun ini. Saat ini banyak Undang-Undang yang belum ada peraturan pelaksananya, Presiden Jokowi telah menginventarisasi sebanyak 47 ribu peraturan undang-undang yang tumpang tindih. Saat ini, Indonesia berjalan seperti halnya raksasa, hal tersebut terjadi karena adanya distorsi pejabat publik yang banyak memikirkan kepentingan pribadi dan kelompok dibandingkan dengan kepentingan umum.

Makna otonomi daerah dewasa ini masih sebatas kemampuan yang dimiliki pemerintahan daerah untuk melaksanakan berbagai kebijakan pemerintah pusat, yang disertakan dengan kemampuan untuk membe-lanjakan keuangan negara yang dikelola daerah belum memberi nilai tambah terhadap kemajuan daerah. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan ketidakmampuan pemerintahan daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, padahal kewenangan otonomi daerah telah diberikan oleh pemerintah pusat?

Korelasi otonomi daerah dan tingkat kesenjangan kemiskinan tidaklah langsung, yang terjadi adalah praktek kapitalistik, ancaman kapitalisme dan peran kapitalisme di negara sangat besar, yang memiliki peran kapitalisme adalah partai tersebut. Jika kapitalisme telah masuk di partai dengan mencari uang untuk partai melalui sumber-sumber kekayaan negara, mereka lebih memikirkan bagaimana membangun imperium politik, mengembalikan hutang pada saat meraih kekuasaan pasti mengabaikan masyarakat. Peran kapital sangat dominan dalam proses politik di Indonesia. Penyakitnya setiap pe-nguasa di Indonesia masih membutuhkan kapital yang besar untuk mendapatkan kekuasaan. Politisi memperlakukan pemilih hanya sebagai angka tidak sebagai manusia persona, maka yang terjadi adalah dehumanisasi dalam praktek politik.

Bagaimanakah korelasi antara efektivitas otonomi daerah dengan ada-nya partai politik yang akan melahirkan para pemimpin?

Lahirnya raja kecil di daerah, hal tersebut terjadi panjang urusannya, setelah jatuhnya kekuasaan Orde Baru yang otoritarian tersebut meruntuhkan tiang-tiang penyangga struktur kekuasaan. Ketika runtuh maka perlu ada penyeimbang yaitu dengan partai politik. Semua orang berlomba-lomba untuk membuat partai, sehingga ratusan partai muncul, yang terjadi adalah orang-orang yang tidak mengerti partai mendirikan partai, orang yang tidak pernah duduk berkuasa akan berkuasa. Sehingga sulit untuk mencari kader yang memiliki kompetensi.

Hal tersebut berakibat muncul penguasa, pabrik penguasa baru yang tidak mempersiapkan orangnya untuk menjadi penguasa yang amanah. Sedangkan, partai politik tidak dapat dibuat tiba-tiba, melainkan melalui proses niat baik dan pendidikan politik yang baik.

Bagaimanakah peran dari civil society untuk menjalankan fungsi kontrol dalam penyelenggaraan otonomi daerah dan proses pemilihan kepala daerah?

Dalam negara demokrasi, civil society berperan untuk melakukan ko-reksi. Jika negara dalam keadaan lemah yang mengkoreksi adalah civil society. Dalam penyelenggaraan pemerintahan yang efektif yaitu dapat merumuskan kebijakan dan menyampaikan kebijakan yang bermanfaat untuk masyarakat dan demokratis (dikontrol rakyat). Kekuatan civil society di masyarakat harus bekerja dengan orang-orang baik di partai.

Bagaimanakah mekanisme untuk menghindari adanya raja-raja kecil di daerah dan menghindari terjadinya money politic?

Untuk mengatasi raja kecil dapat ditempuh dengan penertiban dana partai, lebih baik negara mengalokasikan kepada partai politik sebesar 0,5 – 1% dari APBN. Partai politik juga merupakan sumber persoalan, perlu adanya reformasi partai, dan dana partai dari negara. Saat ini yang diperlukan adalah niat (political will).

Jika pendanaan partai dari negara, maka partai sudah masuk sistem dalam keuangan negara dan dapat diaudit, hal tersebut dapat menekan ketika kampanye tidak mengeluarkan uang sebanyak-banyaknya, tapi dengan cara mempersiapkan kader-kadernya untuk bertarung, efek utama dari dana partai berasal dari negara dan adanya transparansi pelaporan, dapat menggeser politik uang mejadi politik kaderisasi, dimana partai dipaksa untuk bersaing kader (dengan pendidikan yang baik). Pengkaderan membangun karakter manusia mulai dari dini. Mendidik dengan baik yaitu dengan menanamkan nilai sehingga orang memiliki karakter sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan.

Moratorium pembentukan daerah otonomi baru juga merupakan hal yang sedang ramai diperbincangkan, menurut Bapak, apakah moratorium pembentukan daerah otonomi baru merupakan langkah yang tepat sebagai fungsi kontrol terhadap pertumbuhan daerah otonom baru?

Moratorium untuk mengerem eksesif dari pemekaran yang dulu terlalu banyak ditukangi oleh kepentingan politik, penyakit dari pemekaran adalah orientasi pada kekuasaan bukan kesejahteraan. Bagaimana Nawa Cita dijabarkan, supaya kita juga memiliki politik pendidikan yang jelas untuk membangun karakter, terutama karakter para penguasa.

Bagaimanakah harapan Bapak terkait dengan implementasi otonomi daerah saat ini?

Kita telah mengalami kekacaubalauan dalam penataan kekuasaan ini, tapi sudah ada praktek politik yang menghasilkan kepala daerah yang bermutu (bukan karena gelar, namun karena bekerja untuk masyarakat), bahwa kita akhirnya mengakui bahwa negara sebesar Indonesia tidak mudah mencari pemimpin dari nasional/pusat, melainkan dari rahim daerah. Hal tersebut membuktikan bahwa tatanan negara ini ruwet tapi bangsa bisa melahirkan orang-orang yang memiliki kompetensi dan integritas. Yang mengagumkan pertarungan Pilkada langsung sejak tahun 2005 sampai saat ini telah mencapai 1500 kali, tidak ada kompetisi politik di dunia yang frekuensinya setinggi kita, bahkan dengan isu primordial dan sensitif dapat tetap survive kompetensi di tingkat lokal.

Kita bangsa besar, terlalu besar untuk gagal, kita akan bisa atasi keruwetan yang ada, terlebih jika ada kekuatan civil society yang dapat berkolaborasi dengan orang baik di partai-partai, DPR dan pemerintahan untuk bersama membangun bangsa dan  mencapai tujuan utama dalam bernegara yaitu kebahagiaan bersama. Dalam Konstitusi RIS secara harfiah menyebutkan bahwa tujuan membentuk negara adalah kebahagiaan bersama. (DHI)

Search