Kemajemukan Bangsa Indonesia boleh dikatakan sebagai kemajemukan yang “multidimensi”. Artinya, tidak hanya tampak pada latar belakang sosial budaya saja akan tetapi juga muncul pada dimensi lain seperti agama, strata ekonomi, pilihan politik, bahkan tampak pula pada perbedaan fisik manusianya. Atas dasar realita tersebut, para pendiri bangsa sepakat untuk menjadikan Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara serta menetapkan “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai semboyan bangsa Indonesia. Perjalanan sejarah bangsa dan negara Indonesia selama 71 Tahun merdeka, persoalan pembangunan politik nasional yang berbasis pada kemajemukan bangsa belum juga memperoleh bentuk yang diharapkan seperti yang dicita-citakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Bertolak dari uraian tersebut, Prof. Dr. A. Malik Fadjar, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menyelenggarakan Diskusi Terbatas dengan Tema “Pembangunan Politik Nasional Berbasis Kemajemukan Bangsa Menuju Partisipasi Yang Berkeadilan”, Kamis (4/8) bertempat di Kantor Wantimpres, Jakarta. Hadir sebagai narasumber Dr. Ade Komaruddin, Ketua DPR RI; Prof. Dr. Farouk Muhammad, Wakil Ketua DPD RI; Dr. H. Haedar Nasir, M.Si., Ketua Umum PP Muhammadiyah; dan Dr. Ir. H. A. Helmy Faishal Zaini, Sekjen PBNU.
Diskusi ini dihadiri pula oleh Ibu Sri Adiningsih, Ketua Wantimpres; Bapak Sidarto Danusubroto, Anggota Wantimpres; dan K.H. A. Hasyim Muzadi, Anggota Wantimpres; M. Maksum, Sekretaris Anggota Wantimpres Prof. Dr. A. Malik Fadjar; M. Nashihin Hasan, Sekretaris Anggota Wantimpres K.H. A. Hasyim Muzadi; Julie Trisnadewani, Sekretaris Anggota Wantimpres, Sidarto Danusubroto; Kamarullah Halim, Kepala Biro Data dan Informasi; dan Untung Widodo, Kepala Bagian Kesra.
Prof. Dr. A. Malik Fadjar dalam pengantarnya menyampaikan bahwa Pemilu Tahun 1955, yang merupakan pemilu pertama dalam sejarah bangsa Indonesia justru menjadi pemilu yang paling demokratis, berlangsung sukarela, aman, damai, tertib dan disiplin serta jauh dari unsur kecurangan dan kekerasan, sekalipun diikuti oleh banyak calon perorangan dan partai politik. Beliau juga mengatakan Indonesia telah melalui empat tahapan besar perjalanan politik yang dimulai dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959; Orde Lama; Orde Baru; hingga Orde Reformasi. Tentu saja tidak ada perjalanan bangsa yang mulus tanpa isu, beberapa isu kontemporer yang pernah terjadi dalam perjalanan politik bangsa, diantaranya mengenai ambang batas parlemen; penyederhanaan partai, Pemilukada; dan Sistem Ketatanegaraan.
Masih dalam pengantarnya Bapak A. Malik Fadjar menyampaikan pula bahwa untuk membangun NKRI yang berdaulat, adil dan makmur, partai-partai politik harus dapat berkomitmen untuk memperkuat persatuan bangsa dan negara, serta memperkuat rasa cinta, setia dan bakti kepada tanah air, termasuk dalam merumuskan program-program kebijakan ekonomi dan sosial.
Dr. Ade Komaruddin, Ketua DPR RI, mengatakan bahwa diskusi ini sangat tepat untuk menangkap sebuah fenomena yang berbahaya jika tidak segera diantisipasi oleh negara, sebab Indonesia adalah negara yang majemuk dalam berbagai wujud, dengan pembangunan politik yang sudah tertata dengan baik mulai dari pendiri bangsa ini hingga masa reformasi.
Sedangkan Dr. H. Haedar Nasir, M.Si., Ketua Umum PP Muhammadiyah dalam paparannya menanggapi soal konflik yang muncul di berbagai daerah. Beliau mengatakan bahwa peristiwa yang terjadi di Tanjungbalai, Aceh Sigli, Tolikara, Sampang, atau yang terjadi sebelumnya di Ambon dan Poso serta daerah lainnya sebenarnya dapat dibaca dalam konteks kehidupan ber-Bhineka yang terus berproses tidak sekali jadi. Hal itu harus menjadi perhatian semua pihak, di satu pihak selalu dituntut tindakan yang tepat dan tegas, tetapi di lain pihak perlu dicari pemikiran dan solusi agar peristiwa serupa tidak terulang kembali.
Dalam paparannya, Dr. Ir. H. A. Helmy Faishal Zaini, Sekjen PBNU, menyinggung soal bagaimana konsep pembangunan yang berkeadilan serta tantangan Indonesia ke depan. Menurutnya, Indonesia belum mencapai taraf pembangunan yang berkeadilan, “85% dana di Indonesia hanya dikuasai oleh 35 orang saja”. Lebih lanjut beliau menjelaskan perlunya penguatan basis-basis ekonomi, terutama ekonomi mikro.
Prof. Dr. Farouk Muhammad, Wakil Ketua DPD RI yang juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Anggota Wantimpres, T.B. Silalahi, pada periode Tahun 2007 s.d. 2009 menyampaikan pentingnya menjaga kemajemukan bangsa. Berangkat dari kesadaraan bersama bahwa bangsa ini sejak kelahirannya atau sejak kemerdekaan telah bersepakat sebagai bangsa yang menghargai kemajemukan dan perbedaan, serta mengkonstruksikan bagaimana membangun partisipasi dari rakyat yang majemuk itu secara berkeadilan. Hal ini berangkat dari pemahaman bahwa kemajemukan harus menjadi modalitas dalam pembangunan, oleh karenanya partisipasi rakyat yang majemuk itu harus didesain sedemikian rupa supaya berkeadilan.
Dari diskusi ini diperoleh banyak masukan, dan pandangan dari para narasumber, sebagai bahan untuk merumuskan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden baik sebagai Kepala Pemerintahan maupun Kepala Negara. (MEL)