Istilah pelanggaran “terstruktur, sistematis, dan masif” disingkat TSM kerap mewarnai proses pemilihan umum di Indonesia. Kecurangan pemilu TSM dikhawatirkan dapat mencederai demokrasi dan menghasilkan pemimpin yang tidak dipilih secara sah. Pada Pilpres 2014 dan 2019, isu TSM mencuat. Pihak pemenang di kedua pilpres tersebut dituduh melakukan kecurangan TSM sehingga memicu gugatan terhadap hasil pemungutan dan penghitungan suara yang dilakukan KPU.
UU Pemilu No. 7 Tahun 2017 mendefinisikan pelanggaran TSM dalam konteks pemilihan anggota legislatif. Pelanggaran terstruktur mengacu pada kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara pemilihan, secara kolektif. Pelanggaran sistematis diartikan sebagai kecurangan yang direncanakan secara matang, tersusun, dan rapi. Sementara pelanggaran masif merujuk pada kecurangan yang dampaknya sangat luas terhadap hasil pemilihan.
Peraturan Bawaslu No. 8 Tahun 2018 mengatur lebih detail mengenai pelanggaran TSM. Laporan atas dugaan pelanggaran TSM dapat disidangkan oleh Bawaslu jika dilengkapi dengan bukti yang menunjukkan pelanggaran terjadi di sejumlah wilayah. Pada Pilpres 2019, sidang PHPU di MK menolak gugatan Prabowo-Sandiaga terkait pelanggaran TSM. MK menegaskan bahwa kewenangan menangani pelanggaran TSM berada di tangan Bawaslu, sesuai dengan pasal 286 UU Pemilu. MK menjelaskan bahwa mereka hanya fokus pada perselisihan hasil pemilu dan tidak akan mencampuri ranah lembaga lain.