Kuasa Presiden RI Joko WIdodo (Jokowi) meminta Mahkamah Konstitusi (MK) tetap memperbolehkan presiden berkampanye dalam Pemilu 2024. Kuasa presiden itu turut menyinggung Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dalam argumennya, dalam sidang lanjutan gugatan UU Pemilu terkait pasal presiden dan wakil presiden boleh berkampanye di gedung MK, Selasa (6/2).
Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan DPR, Presiden, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk Perkara Nomor 166/PUU-XXI/2023. Plh. Dirjen Politik dan PUM Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Togap Simangunsong selaku kuasa presiden menyampaikan keterangan Presiden Jokowi terhadap pelbagai dalil yang dimohonkan pada Perkara Nomor 166 tersebut. Togap lantas menyinggung praktik presiden yang melakukan kampanye untuk mendukung salah satu calon di negara lain. Contohnya, terang dia, Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama yang mengampanyekan capres Hillary Clinton saat masih berkuasa dan Presiden Perancis Francois Hollande yang berkampanye untuk capres Emmanuel Macron dalam posisi yang sama pula. Lebih lanjut, presiden meminta agar MK menerima keterangan presiden secara keseluruhan. Selain itu, presiden juga meminta MK menyatakan sejumlah pasal yang dimohonkan oleh pemohon dalam perkara ini tetap sah.
Sebelumnya, Gugum mengajukan permohonan uji materiil terhadap sejumlah pada UU 7/2017 yakni Pasal 1 angka 35, Pasal 274 ayat (1), Pasal 280 ayat (2), Pasal 281 ayat (1), Pasal 286 ayat (1) dan ayat (2), hingga Pasal 299 ayat (1) kepada MK. Dia mengatakan UU Pemilu membolehkan Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota untuk berkampanye. Kendati demikian, Gugum menilai UU Pemilu belum memperhitungkan sisi nepotisme dan penyalahgunaan jabatan dalam kampanye. Gugum juga mengatakan Pasal 5 angka 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme jelas melarang pejabat melakukan nepotisme. Menurut dia, pejabat tidak boleh mengedepankan kepentingan keluarga dan ‘kroni’ di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.