Dunia perguruan tinggi kini menyedot perhatian. Para guru besar di beberapa universitas berteriak kencang menegur penyelenggara kekuasaan negeri. Mereka seolah serentak keluar kandang dan mengaum sejadi-jadinya. Mereka menghardik kekuasaan agar tidak semena-mena. Tidak memereteli demokrasi. Di saat bersamaan, muncul gerakan tandingan. Sejumlah profesor dan dosen yang juga mengatasanamakan perguruan tinggi yang mereka wakili, juga mengaum, hendak memojokkan kelompok guru besar yang pertama. Kelompok tandingan ini menuding kelompok pertama, sebagai kelompok yang melakukan gerakan politik praktis.
Singkatnya, kelompok tandingan, seolah tak ikhlas mendengar dan menyaksikan auman kelompok pertama yang bersuara kencang mengingatkan laku penguasa yang miskin akhlak dan moral. Para guru besar dan dosen yang bersuara dan bersikap sangat kritis itu, saya percaya, tidak dimotivasi oleh godaan politik praktis.
Para profesor dan dosen itu, ibarat kaum rezi, bersenyap di pertapaannya. Namun, begitu ada sesuatu yang terjadi dalam masyarakat, terutama tatkala rakyat didera oleh derita berkepanjangan akibat ulah penguasa, para rezi turun dari pertapaan. Mereka langsung menghardik, berikhtiar meringankan beban derita rakyat. Setelah segalanya aman dan rakyat bebas dari lilitan nestapa, mereka kembali ke pertapaan, melakukan kontemplasi lagi. Begitulah siklus kehidupan mereka. Tidak ada keinginan untuk mengambil alih kekuasaan, tetapi punya hasrat keras menghardik kekuasaan dan menegur penguasa.