[dropcap]P[/dropcap]ada Tahun 2016 ini gejala pertumbuhan ekonomi dunia diprediksi akan mengalami penurunan. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang melambat dan dampak
keluarnya Ingrris dari Uni Eropa menjadi faktor-faktor yang turut mempengaruhi penurunan perekonomian global. Sebagai akibatnya perekonomian Indonesia akan terpengaruh. Mampukah Indonesia menghadapi tantangan global ini? Sebagai salah satu pakar ekonomi dan lingkungan hidup yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Wantimpres Periode 2010 s.d. 2014, perlu untuk mengetahui bagaimana pandangan Prof. Dr. Emil Salim seputar permasalahan perekonomian global. Staf Redaksi Warta Wantimpres (13/7) berkesempatan untuk mewawancarai Beliau, dan berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana menurut Bapak mengenai program Pembangunan Ekonomi pemerintahan saat ini? Apa saja tantangan yang perlu disikapi dengan serius?
Program pembangunan ekonomi Pemerintah Jokowi sekarang ini sudah pada jalur yang benar, terutama dalam usaha mengejar ketertinggalan Indonesia dalam pembangunan infrastruktur, seperti telekomunikasi, air, tenaga listrik, perhubungan yang dalam lima tahun membutuhkan $450 milyar. Untuk tahun anggaran sekarang sudah terhimpun $650,61 juta investasi domestik dan $613,24 juta penanaman modal asing. Tampaklah bahwa kebutuhan investasi di bidang infrastruktur kita masih sangat besar, sementara penerimaan dana dalam negeri maupun investasi asing masih rendah. Arus investasi masih rendah akibat keadaan ekonomi global masih tersendat-sendat. Apabila selama 20 tahun terakhir ini ekonomi global ditarik oleh pertumbuhan ekonomi Tiongkok di atas 10% setahun, maka akhir-akhir ini laju pertumbuhannya merosot sampai ke tingkat 7% setahun.
Melambatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok karena sudah mencapai tahap kejenuhan yang diikuti dengan kenaikan upah buruh yang mengakibatkan perlunya restrukturisasi ekonomi Tiongkok yang berimbas pada melambannya pertumbuhan ekonominya global. Dengan menurunnya laju pertumbuhan ekonomi Tiongkok sebagai gerbong penarik ekonomi global, maka besar hambatan negara berkembang untuk bisa melaju seperti sedia kala. Di pasar global harga minyak dan bahan mentah ekspor kita merosot, sehingga mengurangi arus penerimaan pendapatan bagi sektor publik dan swasta. Semua ini mengakibatkan penerimaan pajak tak sampai mencapai 35% dari yang direncanakan dalam anggaran. Kesimpulannya: baik dalam penerimaan devisa dari luar negeri maupun dalam penerimaan rupiah dari pajak dalam negeri hasil yang diperoleh tidaklah seperti yang diharapkan. Sehingga yang dihadapi Pemerintah adalah kekurangan dana untuk membiayai program kerjanya.
Terkait dengan pajak, Pemerintah dan DPR telah menyetujui UU Tax Amnesty atau dikenal dengan Pengampunan Pajak. Bagaimana menurut Bapak terkait dengan dana tax amnesty yang ditargetkan sebesar Rp165 T pada APBNP 2016?
Dalam kaitan inilah setiap usaha “non-konvensional” yang bisa menaikkan pendapatan negara akan sangat membantu mengurangi kekurangan dana pembangunan. Dalam hubungan inilah perlu dilihat terbitnya UU Tax Amnesty. Diharapkan agar dana yang terkumpul melebihi target yang direncanakan. Berapapun jumlahnya, paling tidak pola tax amnesty ini memungkinkan masuknya dana pembangunan dari luar guna menutupi kekurangan belanja pembangunan.
Pemerintah berkomitmen untuk mengakselerasi pembangunan infrastruktur yang tercermin dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2016 dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016. Pada intinya, proyek infrastruktur yang strategis harus berjalan dan tidak boleh dihambat masalah administrasi dan birokrasi. Sebagian pengamat beranggapan jika hal ini juga berpotensi mengorbankan keberlanjutan lingkungan hidup, bahkan bisa sampai mengakibatkan bencana ekologis. Sebagai aktivis lingkungan hidup sekaligus pakar ekonomi bagaimana menurut pandangan Bapak mengenai hal ini?
Indonesia akan alami perubahan struktur penduduk yang semakin banyak didominasi oleh kelompok usia muda, sebagai akibat Program Keluarga Berencana di masa lalu sehingga menghasilkan “bonus demografi”. Kelompok usia muda bila ditingkatkan ketrampilan skill dan dikembangkan kualitas kesehatannya, maka tenaga muda ini menjadi soko-guru pembangunan lepas landas Indonesia di Tahun 2030 nanti. Karena tekanan besar perlu diletakkan pada peningkatan kualitas generasi muda kita dalam makna kualitas kesehatan seperti cukup gizi, dipelihara kesehatan dan diberantas praktek-praktek yang merusak kualitas otak generasi muda dengan memberantas praktek merokok, narkotika, dan lain lain. Di samping itu digalakkan usaha menaikkan produktivitas anak bangsa melalui pembangunan tempat pelatihan, pendidikan keterampilan dan pengembangan kemampuan Science, Technology, Engineering, Mathematics dibalut oleh social sciences. Di samping pembangunan prasarana infrastruktur serta kegiatan pembangunan industri, sangatlah penting untuk membawa generasi muda kita pada pola kegiatan ekonomi dengan ketrampilan dan teknologi mengembangkanan digital ekonomi, artificial intelligence, dan lain-lain. Semua ini perlu untuk meningkatkan daya saing kita agar lebih unggul dalam pentas ekonomi global dan ASEAN.
Bagaimana Bapak melihat proyek pembangunan lewat reklamasi di berbagai tempat di Indonesia? Sebagaimana diketahui bersama, saat ini masalah isu reklamasi menjadi polemik yang tidak kunjung tuntas dikarenakan tarik ulur kepentingan bisnis dengan isu lingkungan hidup?
Pola pembangunan masa depan yang diemban oleh generasi muda nanti bukanlah pembangunan konvensional menempuh satu jalur “ekonomi” saja, tetapi sejak September 2015, sudah disepekati Sustainable Development Goals (SDG) mencakup dimensi pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan. Sasaran utama adalah agar di Tahun 2030 dicapai “zero growth” kemiskinan dalam ekonomi global dengan lingkungan alam yang utuh terhindar dari ancaman perubahan iklim. Dalam konteks inilah berbagai langkah pembangunan perlu mengelola dampak negatif pembangunan kepada lingkungan dengan teknologi yang semakin besar memberi hasil dari sumber daya alam yang semakin terbatas menopang perikehidupan “tanpa kemiskinan” di Tahun 2030. Termasuk disini dalam mengkaji masalah reklamasi yang perlu memperhitungkan dampaknya pada lingkungan alam dan perubahan iklim. Karena kawasan reklamasi adalah “area baru” maka seyogianya diutamakan kepentingan publik ketimbang kepentingan keuntungan pengusaha swasta. (Bnk&AD)