Berdasarkan data dari Organisasi Meteorologi Dunia, tahun 2023 dinyatakan menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah pencatatan iklim. Hal itu disampaikan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati. “Suhu panas di tahun 2023 mengalahkan saat terjadi El Nino kuat di tahun 2016. Bahkan organisasi meteorologi dunia menyimpulkan, ada potensi terjadinya kekeringan yang besar akibat tren kenaikan suhu sebagai dampak perubahan iklim ini,” ujarnya.
Ia mengemukakan bencana iklim di tahun 2023, terjadi di level global, di antaranya Italia, Yunani, Afrika Utara yang pada bulan Juli 2023, suhunya mencapai 47 derajat Celcius. Bahkan Amerika di bagian barat mencapai 53 derajat Celsius, dan selama 31 hari berurutan, suhu mencapai lebih dari 43 derajat Celsius. Ia menyebutkan untuk sementara Indonesia masih berada di kondisi yang relatif aman. Di mana kemungkinan besar disebabkan oleh wilayahnya yang lembab dan dikelilingi oleh samudera yang lebih luas dari daratan.
Ia mengemukakan dampak lanjut dari kenaikan suhu akibat gaya hidup tidak ramah lingkungan yang berakibat pada kekeringan. Ini akan berujung pada terganggunya ketahanan pangan di pertengahan abad 21 atau sekitar tahun 2050. Untuk menghadapi krisis iklim global tersebut, Dwikorita menekankan pentingnya upaya adaptasi dan mitigasi melalui tiga pilar yang saling terkoneksi. Yakni kebijakan, pelayanan dan sains.