Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman menilai teknologi Wolbachia untuk mengendalikan penyakit demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia memiliki kelemahan. Menurutnya, secara ilmu pengetahuan (scientific) teknologi ini belum lengkap. “Sampai sekarang ini masih menjadi perdebatan karena secara scientific ini masih belum lengkap. Belum cukup confident pengetahuan maupun data,” kata Dicky. dalam perbincangan bersama Pro 3 RRI, Minggu (12/11/2023).
Menurutnya, teknologi Wolbachia disebut patogen blocking mechnism atau mekanisme dalam mencegah replikasi dari virus. Ia menyebut teknologi ini merupakan salah satu pendekatan modifikasi genetik. “Ini harus diwaspadai dicermati betul,” ujarnya. Dicky juga telah mencermati secara seksama teknologi Wolbachia ini. Seperti yang ada di UGM Yogyakarta. “Saya melihat masih ada kekurangan, belum ada surveillance factor yang mana ini berkaitan dengan kerawanan potensi ada risiko mutasi virus tersebut,” ucapnya.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin memulai program pencegahan demam berdarah (DBD) melalui teknologi Wolbachia di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Metode ini dapat melumpuhkan virus dengue pada nyamuk aedes aegypti sehingga dapat mencegah penularan kasus DBD. Wolbachia adalah bakteri yang dapat tumbuh alami di serangga terutama nyamuk. Bakteri Wolbachia dapat melumpuhkan virus dengue yang ada pada nyamuk aedes aegypti sehingga tidak akan menular ke manusia.
Dalam program ini, bakteri Wolbachia dimasukan ke telur nyamuk aedes aegypti agar tidak menularkan virus dengue.
Langkah selanjutnya untuk penanganan DBD Kemenkes akan menyebarkan ember berisi telur nyamuk yang sudah ada bakteri Wolbachia ke warga setempat di Kota Kupang. Sebagai percontohan, implementasi Wolbachia ini akan dilakukan di Kecamatan Oebobo, Kota Kupang, NTT, karena angka kesakitannya paling tinggi dan kepadatan penduduknya paling banyak.