Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menilai proses seleksi hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang diselenggarakan Komisi III DPR terburu-buru dan tidak transparan. Menurutnya, uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) itu mengesankan intervensi DPR dalam kekuasaan kehakiman. “Proses seleksi hakim konstitusi di DPR terburu-buru, dipaksakan, tidak cukup transparan, dan tidak partisipatif,” ujar Violla dalam keterangannya, Jumat (29/9). Pada seleksi yang digelar pada Senin (25/9) hingga Selasa (26/9), Komisi III memutuskan Arsul Sani, Wakil Ketua Umum PPP, menjadi hakim MK menggantikan Wahiduddin Adams yang jabatannya berakhir pada Januari 2024.
Terlepas dari keputusan DPR itu, menurut Violla, proses seleksi patut dikritisi. Violla menuturkan ada amanat dalam UU Mahkamah Konstitusi agar seleksi hakim konstitusi dilakukan secara objektif, akuntabel, transparan, dan terbuka. “Berdasarkan pemantauan PSHK pada agenda DPR, tidak ditemukan informasi mengenai pembukaan seleksi, nama-nama calon secara tiba-tiba muncul. Selain itu, proses yang terburu-buru dan singkat, tidak cukup memungkinkan adanya partisipasi publik secara luas dalam setiap tahapan seleksi, bahkan untuk melakukan pemantauan secara langsung di DPR,” kata dia. Violla menyebut model seleksi yang dilakukan panel anggota Komisi III DPR secara langsung membuat proses seleksi berpotensi memunculkan konflik kepentingan. Apalagi, ketika terdapat calon kandidat yang berlatar belakang sebagai anggota DPR.
Menurut Violla, paradigma ini diperkuat dengan narasi pertanyaan dan komentar sejumlah anggota Komisi III DPR yang meminta komitmen kandidat untuk berkonsultasi ke DPR sebelum memutus perkara pengujian undang-undang, mempertahankan undang-undang yang diujikan di MK kelak, dan mendorong kecenderungan judicial restraint dalam memutus perkara pengujian undang-undang. “Selain itu, pertanyaan yang disampaikan tidak cukup menyentuh problem kontekstual saat ini, terutama mengenai peran MK dalam membendung democratic backsliding dan autocratic legalism,” jelas dia.