Indonesia menargetkan mampu bisa mencapai target bauran energi sebesar 23 persen pada 2045. Hanya saja, hingga kini baru mencapai 12,3 persen. Artinya dalam dua tahun pemerintah harus menggenjot capaian EBT hingga 10,7 persen. Salah satu bauran energi terbarukan yang diandalkan adalah PLTS Atap.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Ir. Yudo Dwinanda Priaadi, M.S mengatakan PLTS Atap merupakan salah satu program yang didorong oleh pemerintah untuk mengisi gap pencapaian target bauran energi terbarukan. Karenanya pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendorong pertumbuhan PLTS Atap, salah satunya adalah revisi Permen No. 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap yang saat ini sedang menunggu pengesahan Pemerintah.
Akan tetapi, Menurut Bambang Sumaryo, Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan dan Regulasi, Teknologi, dan Pengembangan Industri Surya, Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Pada dasarnya adanya revisi Permen ini akan membunuh minat masyarakat untuk memasang PLTS Atap on-grid atau yang tersambung ke grid PLN. “Tetapi, apa yang akan masyarakat lakukan? Karena bisa dikatakan masyarakat itu pada umumnya sangat picky (sangat memilih), begitu dia melihat suatu kemungkinan itu ditutup, dia akan mencari peluang atau open opportunity yang lain, dan open opportunity yang lain itu adalah off-grid. Artinya apa? Revisi ini akan mendorong masyarakat untuk menjauh atau untuk berpisah dari grid yang istilah akademisnya grid defection, dan ini bahaya”, jelas Sumaryo. Lebih jauh ia mengatakan bahwa kalau masyarakat sudah terlanjur grid defected, atau meninggalkan grid, maka akan sangat sulit untuk menarik kembali ke grid. Akan diperlukan effort yang sangat luar biasa untuk menarik kembali menjadi pelanggan PLN.