Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana yang diusulkan pemerintah hingga kini masih terkatung-katung. Pasalnya, sejak pemerintah mengirim surat presiden (surpres) RUU Perampasan Aset pada 4 Mei 2023, pimpinan DPR hingga kini tak kunjung membacakannya dalam rapat paripurna. Setidaknya, sudah enam kali rapat paripurna digelar sejak surpres diterima DPR, namun nasib RUU Perampasan Aset tetap menggantung. Ini terjadi lantaran proses politik di meja antar fraksi hingga ini belum juga tuntas. Padahal, DPR sebelumnya telah memperlihatkan sikap tegasnya dengan mendesak pemerintah agar segera mengirim surpres RUU Perampasan Aset. Akan tetapi, setelah pemerintah mengirim surpres, sikap tegas DPR berlahan memudar hingga membuat nasib RUU Perampasan belum ada kepastian.
Mengemukanya isu RUU Perampasan Aset berawal dari curhatan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Mahfud curhat bahwa RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Belanja Uang Tunai belum disetujui DPR. Padahal, kata dia, RUU Perampasan Aset sangat diperlukan guna mencegah tindak pidana korupsi.
Dalam RUU ini pula, pemerintah dapat merampas aset koruptor sebelum putusan final pengadilan dilakukan. Dengan begitu, apabila RUU Perampasan Aset disahkan, negara dapat menyelamatkan aset-asetnya yang dikorupsi. Beberapa hari berikutnya, giliran Presiden Joko Widodo yang membicarakan RUU Perampasan Aset. Jokowi meminta agar RUU ini segera disahkan. Selain itu, Presiden juga meminta RUU tentang Pembatasan Transaksi Uang Kartal segera dibahas di DPR. Jokowi menyatakan, pemerintah berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi. Ia memastikan langkah ini tidak pernah surut. Sejalan dengan hal itu, Jokowi juga mengatakan, pemerintah terus berupaya melakukan pencegahan korupsi dengan membangun sistem pemerintahan dan pelayanan publik yang transparan dan akuntabel.