Serangan terhadap kelompok LGBTQ+ secara online maupun offline meningkat. Pemicu serangan diduga berkaitan dengan upaya hukum untuk membatasi hak-hak LGBTQ+ dan retorika politik yang mengobarkan percakapan nasional seputar isu-isu seperti drag show dan perawatan kesehatan transgender. Seorang ilmuwan politik dan data di Universitas Harvard, Jay Ulfelder telah melacak demonstrasi anti-LGBTQ+ sejak 2017. Data tersebut menunjukkan, demonstrasi anti-LGBTQ+ mengalami peningkatan sekitar 30 kali lipat dibandingkan dengan 2017. Sementara protes terhadap kelompok sayap kanan naik hampir empat kali lipat.
Di dunia maya, cercaan untuk kelompok LGBTQ+ juga meningkat. Sebuah laporan dari Pusat Penanggulangan Kebencian Digital (CCDH) dan Kampanye Hak Asasi Manusia tahun lalu menemukan lonjakan 406 persen cuitan di Twitter yang mengejek kelompok LGBTQ+. Warganet mengejek kelompok LGBTQ+ dengan sebutan “groomer”. Peningkatan terjadi setelah RUU “Jangan Katakan Gay” disahkan pada Maret 2022.
Direktur penelitian di Universitas Princeton yang melacak kekerasan politik secara nasional, Joel Day mengatakan, membuktikan kausalitas antara serangan online dan offline itu sulit. Dia memperingatkan, serangan online dan offline saling memperkuat satu sama lain.