Berdasarkan data Kemen PPPA, pada 2022, kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia mencapai 9.588 kasus, meningkat drastis dari tahun sebelumnya (4.162 kasus). Ada banyak faktor yang menyebabkan hal ini, di antaranya pertama, sanksi yang tidak memberikan efek jera. Berdasarkan UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak, ancaman hukuman bagi pelaku kekerasan seksual pada anak tidak sampai pada hukuman mati, melainkan hanya dipenjara minimal 5 tahun maksimal 15 tahun dan denda paling banyak 5 miliar. Fakta di lapangan menyatakan banyak kasus yang raib jika tidak dikawal ketat oleh netizen. Uang damai pada keluarga dianggap menyelesaikan masalah tanpa harus menempuh jalur hukum. Wajar jika tidak ada efek jera bagi pelaku dan yang lain pun tak merasa takut akan dihukum jika melakukan hal serupa karena bisa menyelesaikan kasus dengan cara yang sama. Asal ada uang, habis perkara.
Kedua, Polemik perbedaan definisi. Ditengah aparat masih terdapat perbedaan definisi kasus. Perbedaan definisi ini akan berdampak pada hukum yang diberlakukan bagi pelaku. Ketiga, cacatnya pengaturan media. Kekerasan Seksual, kejahatan seksual kebanyakan dimulai dari akses pornografi dan pornoaksi. Setidaknya pernah mengakses sehingga terekam dalam memori. Sayangnya, saat ini tak perlu bersusah payah menemukan konten mengumbar syahwat. Salah ketik saja bisa mengantarkan pada situs-situs porno. Atau bahkan bertebaran sebagai iklan saat publik mengakses informasi. Keempat, rapuhnya sistem pendidikan saat ini. Diakui atau tidak, sekularisme menjadi acuan dalam sistem yang diterapkan termasuk sistem pendidikan. Hingga lahirlah pribadi yang jauh dari agamanya.