Upaya memperjuangkan keterwakilan perempuan di parlemen sebanyak 30 persen menemui batu sandungan, setelah KPU menerbitkan aturan baru yang dianggap membawa kemunduran. Aturan baru ini termuat dalam Pasal 8 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang pencalonan anggota DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. KPU mengatur pembulatan ke bawah jika perhitungan 30 persen keterwakilan perempuan menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima. Sebagai misal, jika di suatu dapil terdapat 8 caleg, maka jumlah 30 persen keterwakilan perempuannya adalah 2,4.
Karena angka di belakang desimal kurang dari 5, maka berlaku pembulatan ke bawah. Akibatnya, keterwakilan perempuan dari total 8 caleg di dapil itu cukup hanya 2 orang dan itu dianggap sudah memenuhi syarat. Padahal, 2 dari 8 caleg setara 25 persen saja, yang artinya belum memenuhi ambang minimum keterwakilan perempuan 30 persen. Langkah ini ramai dikritik kalangan pegiat pemilu dan aktivis kesetaraan gender. Terlebih, peraturan-peraturan sebelumnya dianggap sudah cukup pro terhadap kebijakan afirmatif keterwakilan perempuan.
Pegiat pemilu Wahidah Suaib yang tergabung dalam organisasi Maju Perempuan Indonesia (MPI) menilai KPU telah berlaku ahistoris melalui aturan baru ini. Ia menjelaskan, keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen di parlemen bukan jatuh dari langit, namun berangkat dari kesadaran bahwa perempuan masih tertinggal setelah puluhan tahun Indonesia merdeka. Itu artinya, perlu lebih banyak perempuan di posisi pengambil kebijakan. Maka, UU pemilu harus lebih ramah perempuan dan mendorong lebih banyak perempuan menjadi caleg. Beleid yang diharapkan ini akhirnya terbit pada 2003.