Komnas Perempuan dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh sepakat soal menguatkan pengakuan negara pada tindak kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu. Hal ini termasuk kekerasan seksual yang menyasar perempuan. “Penguatan perlu dilakukan dengan upaya pengintegrasian perspektif gender dalam kebijakan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, termasuk melalui mekanisme nonyudisial,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, dalam diskusi daring pada Kamis (9/3).
Komnas Perempuan memantau peluang penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM berat masa lalu untuk menguatkan peran KKR Aceh. Apalagi, upaya nonyudisial telah menjadi bagian yang terintegrasi dalam kerja Komnas Perempuan dan KKR Aceh untuk pemulihan dan pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu. “Langkah nonyudisial dilakukan dengan mempertimbangkan kemendesakan korban pada pemulihan dan untuk memastikan efektivitas pencegahan keberulangan tindak kekerasan terhadap perempuan dalam konteks pelanggaran HAM yang berat,” kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani.
Andy juga menegaskan, hal ini penting di tengah kebuntuan proses yudisial. Apalagi, proses hukum masih mengabaikan pengalaman perempuan korban. “Ini tentu sangat disayangkan ya,” ujar Andy. Komnas Perempuan dan KKR Aceh berharap tindak lanjut pernyataan Presiden Jokowi mengenai penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu akan memastikan integrasi pengalaman perempuan korban kekerasan. Komnas Perempuan dan KKR Aceh juga merekomendasikan agar pemerintah memastikan mekanisme pelibatan substantif dari publik. “Termasuk kelompok korban dalam penyusunan program pemulihan dan pelaksanaannya serta pengawasannya,” ujar Andy.