Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2022 mengalami penurunan empat angka menjadi 34 poin. Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada atau Pukat UGM Totok Dwi Diantoro mengatakan hal tersebut menunjukkan lemahnya komitmen pemberantasan korupsi dari pemerintah. Totok menilai lemahnya komitmen tersebut dapat terlihat dari sejumlah kebijakan yang kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi. Salah satunya, kata dia, adalah revisi Undang-Undang KPK yang disahkan pada 2019 lalu.
Padahal, Totok mengatakan KPK memiliki peran penting dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Ia menilai KPK lahir dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Selain itu, Totok menyoroti fenomena konflik kepentingan di Indonesia sebagai salah satu penyebab merosotnya skor IPK tahun 2022. Ia menilai perlu adanya langkah berani untuk membuat peraturan khusus mengatur fenomena konflik kepentingan.
Suara senada diungkapkan Koordinator Indonesia Memanggil 57+ Mochammad Praswad Nugraha. Ia mengatakan, rendahnya skor tersebut mencerminkan keterpurukan performa pemberantasan korupsi di Indonesia. Bahkan, ia menilai pemerintah secara vulgar memukul mundur kerja pemberantasan korupsi. Selain itu, Praswad menyebut bahaya bila kondisi keterpurukan pemberantasan korupsi terus dibiarkan. Ia mengatakan hal tersebut akan merusak segala sendi kehidupan masyarakat. Hal tersebut akan menjadi faktor yang memungkinkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, merosotnya ekonomi, rusaknya lingkungan, dan lain sebagainya,” kata eks penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut.