KUHP Baru: Hukum Pidana Cerminan Jati Diri Bangsa

Indonesia berhasil mengundangkan KUHP baru, menggantikan KUHP lama peninggalan pemerintah kolonial Belanda, 2 Januari lalu. Dengan keberhasilan ini, menurut Guru Besar Hukum Pidana UI Prof Dr Harkristuti Harkrisnowo SH MA, Indonesia segera memasuki era hukum pidana yang lebih sesuai dengan kepribadian dan jati diri Bangsa. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) nasional ini akan mulai berlaku tiga tahun terhitung sejak diundangkan. Harkristuti memaparkan, perbedaan mencolok antara KUHP nasional dengan KUHP peninggalan Belanda misalnya pada pidana Perzinaan dan Kohabitasi, di mana dalam KUHP lama hal-hal semacam itu berlawanan dengan kultur dan budaya yang tertanam di masyarakat Bangsa Indonesia.

Ia juga menyampaikan, dalam KUHP baru yang tak kalah penting untuk disosialisasikan ke masyarakat adalah Pasal 218 Tentang Penyerangan Harkat dan Martabat Presiden dan Pasal 240 Tentang Penghinaan Pemerintah atau Lembaga Negara. Menurutnya, pasal tersebut dibuat bukan untuk membungkam masyarakat. Indonesia memang negara yang menganut asas demokrasi, namun bukan berarti demokrasi diartikan sebagai demokrasi yang kebablasan. Perbedaan antara kritik dan penghinaan pun ditekankan dalam pasal tersebut. Maka, tidak akan ada proses hukum tanpa adanya pengaduan yang sah dari pihak yang berhak mengadu, yaitu Presiden atau Wapres (Pasal 218 UU KUHP) dan Pimpinan Lembaga Negara (Pasal 240 UU KUHP).

Pembicara lain, Guru Besar Fakultas Hukum UI, Prof Dr Topo Santoso SH MH menjelaskan, para perumus KUHP nasional berhasil memperbaiki tujuan pemidanaan, dari sekadar untuk menghukum atau membalas para pelaku pada KUHP lama. KUHP nasional juga lebih komprehensif karena banyak memperbaiki kekurangan KUHP kolonial. Ini ditandai dengan lebih banyaknya pasal KUHP baru yang diundangkan sebagai UU No 1/ 2023 ini. Yaitu, terdiri dari 37 Bab, 624 Pasal dan 345 halaman; dan terbagi dalam dua bagian, yakni bagian pasal dan penjelasan.

Search