Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengidentifikasi adanya risiko rasuah terkait program penurunan angka stunting atau gizi buruk di Indonesia. Praktik koruptif ini terjadi saat proses penganggaran, pengadaan, hingga pengawasan. Pada aspek penganggaran, Niken mengungkapkan, temuan lapangan menunjukkan adanya indikasi tumpang-tindih perencanaan dan penganggaran antara pemerintah pusat dan daerah. Selanjutnya, pada aspek pengadaan, adanya pengadaan yang bersumber dari DAK nonfisik masih belum berjalan optimal.
Selain itu, pada aspek pengadaan juga terdapat pengadaan barang yang tidak dibutuhkan. Ia mencontohkan, program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) yang diseragamkan ke seluruh daerah tanpa analisis kebutuhan objek. Kemudian, ada juga pengadaan alat peraga yang bersifat sentralistis sehingga peran vendor terbatas. Padahal, pengadaan ini harusnya mendapatkan lisensi dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Selain itu, pada aspek pengawasan pun terdapat celah terjadinya korupsi. Sebab, belum ada pedoman teknis untuk Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dalam melakukan audit atau pengawasan khusus terkait pelaksanaan program.
Dia menambahkan, KPK melalui Kedeputian Koordinasi Supervisi juga mendapatkan informasi adanya laporan inspektorat pemerintah daerah terkait pengadaan pada program penurunan prevalensi stunting yang tidak memberikan manfaat optimal. Selain itu, penganggaran program ini juga bukan menjadi prioritas pada beberapa pemerintah daerah, meskipun program ini menjadi prioritas nasional. Dari berbagai temuan tersebut, KPK menyampaikan beberapa rekomendasi.