Pengamat Militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, berharap, calon Panglima TNI pengganti Jenderal Andika Perkasa yang kelak dipilih Presiden Joko Widodo jauh dari kepentingan politik, utamanya politik praktis. Presiden juga diharapkan memilih figur yang paham batasan-batasan TNI sebagaimana bunyi aturan undang-undang.
Menurut Fahmi, idealnya, Panglima TNI memang jauh dari sifat politis. Namun, pada praktiknya, gagasan itu sulit diterapkan. Bagaimanapun, nama Panglima TNI merupakan produk politik. Sebab, pemilihannya berangkat dari usulan hak prerogatif presiden. Dari tangan presiden, usulan nama Panglima TNI harus mendapat persetujuan DPR, yang tidak lain juga representasi kekuatan politik. Tak hanya itu, kata Fahmi, militer Indonesia sejak awal sudah cenderung berpolitik. Militer RI lahir dari kancah revolusi kemerdekaan, yang mana itu merupakan peristiwa politik.
Kendati demikian, lanjut Fahmi, tak ada keterkaitan langsung antara gelaran Pemilu 2024 mendatang dengan pergantian Panglima TNI. Menurut dia, rawan atau tidaknya pelaksanaan tahapan pemilu lebih bergantung pada integritas penyelenggara dan peserta pemilihan. Sementara, pada era reformasi ini, militer tidak lagi berfungsi sebagai stabilisator dan dinamisator yang punya peranan sangat penting dalam pengamanan dan pemenangan pemilu seperti masa Orde Baru dulu. Oleh karenanya, Fahmi menilai, faktor gelaran Pemilu 2024 tak akan jadi pertimbangan besar presiden dalam memilih calon Panglima TNI pengganti Jenderal Andika.