Penerapan pajak internasional akan dilaksanakan mulai tahun depan. Negara-negara G20 sendiri sudah menyepakati dua pilar perpajakan internasional. Adapun dua pilar perpajakan tersebut adalah ketentuan perpajakan bagi sektor digital dan pajak minimum global (global minimum taxation). Sebagai informasi, rencana penerapan pilar 1 (pajak digital) adalah memberikan sekitar 25% keuntungan setiap perusahaan global kepada negara-negara tempat perusahaan tersebut beroperasi. Adapun pembagian keuntungannya berdasarkan dari kontribusi pendapatan perusahaan tersebut di masing-masing negara. Sedangkan untuk pilar 2 (pajak minimum global) direncanakan penerapan pajak minimum yakni sebesar 15% bagi perusahaan global yang beroperasi di setiap negara untuk menciptakan rasa keadilan. Kriterianya adalah perusahaan yang punya omzet bisnis setahun minimal 750 juta euro.
Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Mekar Satria Utama mengatakan, penerapan pilar 1 alias pajak digital mulai diterapkan pada awal semester I 2023, sedangkan untuk pilar 2 yakni pajak minimum global bagi perusahaan multinasional yang berbasis di suatu negara mulai diterapkan pada 2024. Sejatinya implementasi penerapan pajak digital bisa berjalan mulai Juli 2022. Namun rencana tersebut batal karena adanya beberapa kendala. Yakni pembahasan yang panjang terkait pilar 1 karena harus mengakomodasi masukan 133 negara.
Indonesia sendiri sudah menerapkan pajak digital saat ini. Khususnya penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) dari transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Hingga akhir September 2022, penerimaan PPN PMSE sudah tembus Rp 8,69 triliun. Penerimaan tersebut berasal dari pungutan PPN PMSE dari 107 perusahaan digital yang beroperasi di Indonesia. Dalam pertemuan terakhir para menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara G20 di Washington DC, Amerika Serikat (AS), Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut makin kuatnya komitmen untuk mengimplementasikan kesepakatan terkait pajak internasional.