Hakim Bisa Beri Pidana Tambahan agar Terdakwa Korupsi Tak Dapat Potongan Hukuman

Mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun menilai, majelis hakim yang memutuskan sebuah perkara dapat memberi pidana tambahan berupa tidak adanya remisi ataupun pembebasan bersyarat (PB) kepada seseorang yang akan dihukum. Hal itu dapat dilakukan hakim terhadap kasus kejahatan luar biasa atau extraordinary crime seperti kasus korupsi, terorisme, dan narkotika. Pidana tambahan itu telah diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pasal 10 KUHP menyebutkan bahwa hukuman atau pidana terhadap seorang terdakwa dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok meliputi pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan. Sementara itu, pidana tambahan adalah pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan barang tertentu dan pengumuman putusan hakim.

Menurut Gayus, tidak adanya pemberian remisi atau pembebasan bersyarat dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) jika telah menjadi putusan hakim. Kendati demikian, Gayus menekankan bahwa remisi dan pembebasan bersyarat merupakan hak bagi narapidana yang telah memenuhi persyaratan. Akan tetapi, Gayus memahami adanya keadilan sosial atau social justice yang juga bisa dipertimbangkan seorang hakim dalam memutus sebuah perkara. Namun, hal itu harus juga harus mempertimbangkan legal justice atau keadilan umum sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang yang berlaku. Dengan demikian, kata Gayus, seorang hakim dapat memberikan pidana tambahan dengan pertimbangan asas-asas keadilan terhadap suatu perkara yang akan diputuskan.

Search