Pakar hukum pidana pencucian uang Yenti Garnasih menyesali kurangnya pengawasan sehingga terjadi penyelewengan dana oleh yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT). Menurut Yenti, adanya tumpang tindih perundang-undangan di Indonesia membuat pengawasan atau kontrol terhadap suatu lembaga atau organisasi jadi tidak maksimal. Di satu sisi, ACT sudah memiliki izin Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) dari Kementerian Sosial melalui Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor 239/HUK-UND/2020 untuk kategori umum. Sedangkan, secara umum semua kegiatan penghimpunan dana jelas harus mempunyai ijin dari Bank Indonesia atau saat ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dengan adanya kasus penyelewengan dana ini, harus ditelusuri siapa sebenarnya lembaga yang seharusnya mengontrol penghimpunan dana oleh ACT agar ke depannya tidak terjadi lagi kasus yang sama. Awal Juli, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengeluarkan hasil analisis yang menemukan adanya penyelewengan dana donasi dan indikasi penggunaan dana untuk mendanai aktivitas terlarang.
Menurut Yenti adanya dugaan penyelewengan dana yang dikirim hingga keluar negeri seharusnya bisa segera diperiksa karena sudah termasuk dengan pencucian uang. Ketua Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia ini juga menyayangkan ACT sebagai lembaga kemanusiaan telah mencederai niat baik masyarakat untuk beramal. “Kalau begini orang akan kehilangan satu nilai yaitu berbagi,” tambahnya. Selain itu, reformasi regulasi yang berkaitan dengan aturan pelaksana, pengawasan, serta cyber patroli untuk pungutan liar. Menurut Yenti hal terpenting adalah adanya laporan berkala yang dibuka untuk masyarakat sehingga masyarakat mengetahui dari waktu ke waktu, dana yang digunakan untuk siapa dan dari mana saja.