Politik, Masjid, Shalat Jumat: ‘Deja vu’ Ala Kekuasan Jawa

Jawa dan Islam memang terjadi persinggungan unik. Tak jelas apa sebab utamanya mengapa penduduk Jawa yang mayoritas Hindu dan Budha bisa beralih menjadi Muslim, terutama semakin marak semenjak era akhir Majapahit pada tahun 1300 M. Dalam hal itu, tak aneh bila ada sejarawan asing yang ketus menyebut berpindahnya agama orang Jawa, terutama para Raja Jawa sifatnya politik atau untuk kepentingan oportunis kekuasaan. Mereka hanya pindah dengan tujuan awalnya sebenarnya untuk kepentingan kekuasaan.

Hubungan masjid, shalat Jumat, dan politik kekuasaan di kerajaan Jawa itu. Jejaknya sangat mudah terlihat misalnya pada kisah Raja Mataram Sunan Pakubuwono IV hingga para leluhur raja Jawa lainnya. Semua ternyata anak-anak santri bahkan banyak sekali punya leluhur orang Pesantren. Salah satu contoh lainnya ada pada sosok Sultan Hamengku Buwono I (pendiri kerajaan Mataram Yogyakarta yang jelas anak keturunan seorang ulama). Khusus untuk Sunan Paku Buwono IV malah harus diberi catatan khusus. Dia dikenal sebagai ‘Raja yang santri’. Tak hanya punya kebolehan memahami ajaran Islam, dia juga mengajarkannya langsung dalam tata kehidupan sehari-hari. Setiap Jumat di selalu memberi khutbah atau pada hari biasa dia lazim memberi pengajian.

Bila menilik dari sisi catatan sejarah, soal kedatangan Sultan Agung ke Makkah, identik dengan catatan adanya dua rombongan dari kesultanan Mataram ke Makkah pada tahun 1620-an. Namun berbeda dengan kisah yang ada di ‘Babad Tanah Jawi’ kepergian utusan itu adalah untuk meminta legitimasi dan perlindungan dari kekuasaan imperium Ottoman (Makkah adalah wilayah Otoman). Sultan Agung sendiri tak pernah disebut bila pernah ke Makkah. Rombongan dari Jawa itu hanya datang untuk meminta izin penggunaan gelar Sultan sebagai nama raja Jawa mengantikan nama ala raja Majapahit ‘Susuhunan’.

Search