Era disrupsi, kondisi dimana terjadinya inovasi serta perubahan besar atau mendasar ke dalam suatu sistem baru telah membawa berbagai perubahan dalam tatanan masyarakat. tidak terkecuali dalam aktualisasi nilai keagamaan. Jika merujuk pada hasil-hasil penelitian tentang keagamaan atau religiusitas, terdapat dua kubu yang saling berseberangan. Kubu pertama memandang agama menjadi sumber keterbelakangan bahkan lekang oleh kemajuan dan modernitas. Akan tetapi di sisi lain, ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa agama sebagai sumber inspirasi yang selalu bermanfaat dan mencerahkan bagi kehidupan manusia.
Menurut Anisia Kumala Masyhadi hal tersebut terjadi karena perbedaan motivasi beragama. Ada orang yang beragama karena motivasi intrinsik, yaitu orang yang beragama hanya untuk memenuhi kebutuhan. Dengan kata lain, agama hanya sebagai kebutuhan dirinya sendiri. Sehingga apabila orang tersebut tidak menjalankan agamanya dengan baik maka dia sendiri yang akan merasa tidak baik. Di era disrupsi seperti saat ini, fenomena beragama semakin marak. Semakin banyak orang-orang yang menggunakan simbol keagamaan, majelis-majelis ilmu yang bertebaran di mana-mana.
Selain itu, akses belajar dalam hal ini belajar agama semakin mudah dengan kehadiran teknologi. Berbagai sumber ilmu dapat diakses tidak terbatas ruang dan wakut. Kendati menimbulkan hal positif, disrupsi juga menghadirkan beberapa tantangan. Sebut saja perubahan serba cepat yang membuat seseorang beragama menjadi tidak bermakna. Agama hanya menjadi ritual semata dan tidak memiliki makna positif bagi dirinya. Selain itu orang yang beragama cenderung mudah merasa benar sendiri. Semangat beragamanya tinggi akan tetapi tidak diikuti dengan ilmu yang mendalam.