Sejak kemerdekaan, Indonesia telah memiliki tiga undang-undang sistem pendidikan nasional. Undang-Undang Nomor 4/1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, Undang-Undang Nomor 2/1989, dan Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Di dalam ketiga undang-undang tersebut, diatur secara khusus pendidikan agama. Ketentuan khusus tentang pendidikan agama merujuk kepada tiga landasan. Pertama, landasan legal-konstitusional, yaitu sila pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 29 ayat 1 dan 2: Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (1). Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk suatu agama dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu. Kedua, landasan kultural, yaitu karakter bangsa Indonesia sebagai bangsa yang religius. Bangsa Indonesia memiliki ketaatan menjalankan ajaran agama dan menjadikan agama sebagai bagian tak terpisahkan dari semua aspek kehidupan. Ketiga, landasan edukatif-pedagogis. Dalam pendidikan agama, Indonesia menganut sistem confessional atau teaching into religion (Grimmit, 1987), dengan pendidikan agama bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta berakhlak mulia.
Peraturan Menteri Agama Nomor 16/2010, Pasal 1 tentang ruang lingkup pendidikan agama disebutkan, pendidikan agama meliputi pendidikan agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Pendidikan agama dapat diselenggarakan apabila sekurang-kurangnya terdapat sepuluh siswa yang memeluk agama yang sama. Peraturan Menteri Agama tersebut menimbulkan masalah eksklusi pendidikan agama (Mu’ti, 2020) bagi siswa yang memeluk agama di luar enam agama yang ‘diakui’ dan siswa yang tidak menganut salah satu agama (penganut kepercayaan). Barulah pada 2016, sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 27/2016, penganut penghayat kepercayaan mendapatkan layanan pendidikan tersendiri.
Di Indonesia, agama selalu menjadi isu yang flammable: sangat sensitif dan mudah menyulut amarah massa. Salah satu pasal yang alot dalam penyusunan UU Nomor 20/2003 ialah pasal tentang pendidikan agama. Masuknya kepercayaan dalam Undang-Undang Sisdiknas sepertinya akan menimbulkan gejolak yang relatif sama, bahkan mungkin eskalasinya lebih tinggi karena ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah, khususnya menteri terkait. Di kalangan masyarakat tertentu, baik presiden maupun menteri dinilai sebagai figur yang prosekuler dan anti-Islam. Penilaian itu bisa jadi keliru dan sangat subjektif. Dalam situasi pandemi, kita memerlukan suasana kehidupan kebangsaan yang tenang dan kondusif. Hal-hal yang berpotensi menimbulkan kontroversi sebaiknya dihindari semaksimal mungkin. Perlu komunikasi politik yang sangat baik sehingga kontroversi pendidikan kepercayaan dapat dihindari.