RUU Sisdiknas dan Kepekaan Nurani

Perubahan masyarakat yang dinamis, dari pola relasi konvesional dengan pertemuan fisik menyertai kebermaknaan dan produktivitas menuju serbahibrida, digital, dan mobile, dan tidak selalu mensyaratkan pertemuan fisik, tetapi tetap memiliki output produktif, lalu diakselerasi secara radikal oleh pandemi covid-19, membuat dunia pendidikan kita tergagap dalam mengikuti perubahan yang serba disruptif ini. Ada logic tersendiri yang perlu diikuti agar perubahan yang diharapkan dapat diterapkan dan betul-betul membawa common good untuk kemaslahatan masyarakat luas. Di samping itu, di dunia pemerintahan, apalagi pada sektor pendidikan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, pelibatan masyarakat dalam setiap perumusan kebijakan merupakan hal mutlak yang tidak boleh dilewatkan.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) menggulirkan pembahasan RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Namun, pembahasan peta jalan pendidikan sebelumnya dihentikan dan melompat ke pembahasan RUU Sisdiknas. Pembahasan uji publik RUU Sisdiknas juga sangat singkat, terkesan tergesa-gesa dan tidak sepenuhnya terbuka untuk masyarakat luas. Tidak setiap yang diundang mendapatkan akses penuh kepada dokumen yang akan dibahas. Para pemangku kepentingan tidak cukup punya waktu untuk mempelajarinya secara mendalam, padahal, banyak rancangan pasal-pasal yang problematik.

Dalam situasi pandemi yang belum usai, Kemendikbud-Ristek perlu memiliki kepekaan nurani untuk sementara menghentikan pembahasan RUU Sisdiknas dan berbagai kebijakan jalan pintasnya. Pembaruan UU Sisdiknas memang diperlukan, kurikulum juga perlu untuk terus dikembangkan, tetapi yang sangat dibutuhkan saat ini ialah ikhtiar pendampingan bagi para guru dan siswa dalam upaya memulihkan learning loss di masa pandemi yang dampaknya sangat berat bagi dunia pendidikan baik untuk saat ini maupun masa yang akan datang.

Search