Salah Kaprah Penerapan Keadilan Restoratif

Pada 15 Februari 2022, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Fadil Zumhana menyetujui lima permohonan penghentian penuntutan perkara berdasarkan keadilan restoratif.  Kasus yang dihentikan penuntutannya oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) terkait pengancaman, pencurian, penipuan dan penggelapan, penadahan dan penganiayaan. Dalam pertimbangannya, Jampidum menyetujui permohonan penghentian penuntutan tersebut antara lain karena tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana, ancaman pidana tidak lebih dari 5 tahun, tidak ada kerugian materiil yang ditimbulkan.

Saat ini, penghentian penuntutan perkara dengan pendekatan keadilan restoratif menjadi salah satu kebijakan prioritas Kejaksaan Agung (Kejagung). Proses itu dilakukan dengan supervisi langsung dari Jampidum Kejagung. Sepanjang 2021, kejaksaan menangani perkara pidana umum sebanyak 147.624 perkara. Dari jumlah itu, sebanyak 346 perkara diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif.

Andi Samsan yang juga juru bicara MA itu mengungkapkan kekhawatirannya akan kesalahpahaman dalam penerapan konsep keadilan restoratif dewasa ini. Penerapan keadilan restoratif tidak identik dengan dihentikannya suatu perkara, dihentikannya penegakan hukum sebelum sampai pengadilan, atau dibebaskannya seorang pelaku tindak pidana oleh hakim. Kesalahkaprahan kedua, menurut Andi Samsan, bahwa keadilan restoratif dapat diterapkan dalam setiap jenis tindak pidana. Menurut dia, keadilan restoratif tidak dapat diterapkan untuk kasus-kasus tertentu, seperti kejahatan seksual atau kejahatan atas hak kekayaan intelektual (HAKI).

Search