Praktisi hukum Ifdhal Kasim menilai Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang saat ini tengah dibahas tidak progresif. Ifdhal menyoroti pengawasan terhadap kinerja aparat penegak hukum oleh pengadilan atau judicial scrutiny yang justru menghilang. Demikian disampaikan Ifdhal dalam agenda ‘Akademisi dan Praktisi Menggugat RKUHAP 2025: Revisi KUHAP untuk Siapa?’ di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Senin (21/7).
Mantan Ketua Komnas HAM ini menuturkan penilaian tersebut tercermin dari Pasal-pasal terkait dengan penangkapan, penahanan, sampai dengan Praperadilan. Banyak muatan ketentuan yang bersandar pada alasan subjektif penyidik. Dalam RKUHAP disebutkan polisi bisa melakukan penangkapan sampai dengan 7 hari. Sementara KUHAP yang saat ini berlaku membatasi waktu maksimal 1×24 jam. Polisi juga bisa melakukan penahanan kapan saja tanpa izin Pengadilan dengan dalih keadaan mendesak. Belum lagi mengenai hak memilih penasihat hukum yang dihapus. Ifdhal khawatir proses pendampingan hukum menjadi formalitas belaka, tidak sesuai keinginan tersangka atau terdakwa, dan membuka konflik kepentingan.
Ifdhal menuturkan praktik pemberian bantuan hukum oleh negara sampai saat ini tidak begitu maksimal. Anggaran yang dialokasikan ke bantuan hukum disebut sangat sedikit. Oleh karena itu, Ifdhal memandang seharusnya RKUHAP mengatur lebih lanjut mengenai permasalahan tersebut: bagaimana tanggung jawab negara dalam pemberian bantuan hukum kepada orang miskin.