Alasan Mendag Tak Terapkan BMAD untuk Bahan Baku Tekstil Asal Cina

Keputusan untuk tidak menerapkan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap impor benang filamen sintetis tertentu asal Cina telah dijelaskan oleh Menteri Perdagangan Budi Santoso dengan merujuk pada kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional. Telah disampaikan bahwa kapasitas produksi dalam negeri atas produk tersebut belum mampu mencukupi kebutuhan industri pengguna. Sebagian besar produsen juga diketahui masih memproduksi untuk keperluan internal, bukan untuk pasar. Ditekankan pula bahwa sektor hulu industri TPT telah lebih dulu dikenakan berbagai trade remedies, seperti Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan BMAD untuk produk polyester staple fiber. Jika BMAD terhadap benang filamen sintetis juga diberlakukan, maka peningkatan biaya produksi dan penurunan daya saing sektor hilir diperkirakan akan terjadi. Tekanan dari dinamika geoekonomi-politik global, tarif resiprokal dari AS, dan penutupan industri turut menjadi pertimbangan dalam pengambilan kebijakan ini.

Kontribusi industri TPT terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang telah menurun dari 1,3 persen pada 2019 menjadi 1,1 persen pada 2024 juga telah dijadikan landasan dalam keputusan tersebut. Dampak pandemi Covid-19 turut diakui sebagai penyebab penurunan kontribusi sektor ini. Keputusan untuk tidak melanjutkan rekomendasi KADI mengenai BMAD juga telah dikonsultasikan melalui koordinasi lintas kementerian. Masukan dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Bappenas, Kementerian Perindustrian, serta Komite Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah diterima dan dipertimbangkan. Di sisi lain, penyelidikan terhadap dugaan praktik dumping oleh Cina telah dilakukan sejak September 2023 oleh KADI, berdasarkan permintaan APSyFI yang mewakili dua perusahaan besar. Produk yang diselidiki terdiri atas POY dan DTY dengan klasifikasi HS tertentu dalam Buku Tarif Kepabeanan Indonesia 2022.

Penerapan BMAD telah kembali didorong oleh APSyFI yang menilai bahwa banjir produk impor telah menggerus daya saing industri nasional. Usulan BMAD sebesar 20 persen disebutkan lebih ideal dibandingkan rekomendasi awal KADI yang mencapai 42,3 persen. Dampak lanjutan dari praktik dumping disebut telah menyebabkan permintaan benang pintal menurun dan memukul industri pemintalan serta industri polimer. Beberapa produsen besar dilaporkan telah menutup lini produksi, menyisakan hanya empat produsen yang masih beroperasi dalam kondisi terbatas. Penetapan tarif BMAD minimal 20 persen juga dinilai logis oleh Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, sebagai langkah penyelamatan industri dari kerusakan struktural. Menurutnya, kesenjangan harga antara produk impor dan lokal tetap akan terjadi, meskipun tarif BMAD diberlakukan, sehingga urgensi kebijakan antidumping perlu terus diperhitungkan secara serius.

Search