Sejumlah industri padat karya di Indonesia telah dilaporkan dalam kondisi kritis, termasuk sektor tekstil, tembakau, dan crude palm oil (CPO). Dampak signifikan telah dirasakan dalam bentuk pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menurut data Apindo mencapai 114.675 orang dalam kurun 1 Januari hingga 10 Maret 2025. Angka tersebut melanjutkan tren PHK sepanjang 2024 yang mencapai lebih dari 411 ribu orang. Kelesuan sektor ini telah berdampak pada daya beli masyarakat, tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 4,87% pada kuartal I-2025. Konsumsi rumah tangga, sebagai penopang utama pertumbuhan ekonomi, hanya mampu tumbuh 4,89%, yang merupakan level terendah dalam lima kuartal terakhir.
Kinerja sejumlah industri telah dilaporkan mengalami perlambatan atau kontraksi akibat melemahnya permintaan domestik maupun global. Industri tekstil dan pakaian jadi hanya tumbuh 4,64%, turun tajam dari kuartal sebelumnya. Industri pengolahan tembakau bahkan mengalami kontraksi sebesar 3,77%, sementara industri kulit dan alas kaki mengalami perlambatan dari 9,16% menjadi 6,95%. Industri CPO juga mengalami kontraksi minus 6,67%, seiring dengan anjloknya harga komoditas global seperti batubara. PHK dalam skala besar telah dilakukan oleh perusahaan sebagai respons atas turunnya permintaan, sebagaimana diungkap oleh 69,4% responden survei Apindo.
Selain anjloknya permintaan, beban biaya produksi yang tinggi juga telah disebut sebagai pemicu keterpurukan industri padat karya. Berbagai pungutan dari pemerintah dianggap telah memperberat iklim usaha yang sudah lemah. Pengusaha merasa tekanan fiskal tersebut justru memperbesar risiko bagi industri yang sedang berjuang bertahan. Dorongan untuk revitalisasi sektor padat karya telah disuarakan agar keberlangsungan industri dapat dijaga. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tantangan industri bukan hanya berasal dari pasar, tetapi juga dari kebijakan struktural yang diterapkan.