Sebanyak 24.036 pekerja telah terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang Januari hingga 23 April 2025, dan penyebab utamanya diidentifikasi sebanyak tujuh dari total 25 faktor yang tercatat. PHK paling banyak terjadi akibat perusahaan merugi atau tutup akibat penurunan kondisi pasar, baik dalam negeri maupun luar negeri. Selain itu, relokasi perusahaan ke wilayah dengan upah buruh lebih rendah turut dilakukan sebagai strategi efisiensi biaya. Perselisihan hubungan industrial, tindakan balasan terhadap aksi mogok kerja, hingga perubahan model bisnis juga menjadi faktor penyebab. Bahkan, beberapa perusahaan harus merumahkan karyawan akibat pailit dan kewajiban terhadap kreditur. Pemerintah menyatakan bahwa strategi mitigasi PHK tidak bisa digeneralisasi, sebab penyebabnya sangat bervariasi dan harus dianalisis berdasarkan kasus per kasus.
Provinsi Jawa Tengah menjadi wilayah dengan jumlah PHK tertinggi mencapai 10.692 orang, diikuti oleh DKI Jakarta sebanyak 4.649 orang dan Riau sebanyak 3.547 orang. Sektor industri pengolahan tercatat paling terdampak dengan 16.801 kasus PHK, disusul perdagangan besar dan eceran (3.622 orang), serta aktivitas jasa lainnya (2.012 orang). Peningkatan PHK pada awal 2025 tercatat signifikan dibandingkan tahun sebelumnya, mencapai sepertiga dari total angka tahun 2024 yang berjumlah 77.965 orang. Hal ini menunjukkan bahwa gelombang PHK belum menunjukkan tanda penurunan. Tren PHK sejak 2020 menunjukkan fluktuasi tajam, di mana angka tertinggi terjadi pada 2020 dengan 386.877 kasus dan menurun drastis pada 2022 menjadi 25.114, namun kembali meningkat pada 2023 dan 2024.